Setelah menghabiskan lebih dari satu dekade mengajar siswa di tingkat Sekolah Menengah Atas, perguruan tinggi, dan pascasarjana, saya telah mengembangkan minat yang besar terhadap AI dan kemungkinan dampaknya — baik positif maupun negatif — terhadap pembelajaran. Pada saat yang sama, saya telah menghabiskan lebih dari dua dekade dalam pelayanan pastoral, jadi saya juga tertarik untuk mengeksplorasi potensi dampak AI — baik positif maupun negatif — terhadap cara yang kita pilih untuk memenuhi tujuan misi kita untuk memuridkan lebih banyak orang. Secara khusus, saya ingin melihat kategori AI yang luas dan potensi dampaknya terhadap cara orang Kristen membaca, menafsirkan, dan melatih orang lain untuk menghidupi kebenaran Alkitab.

Ketertarikan saya terhadap dampak AI dalam pemuridan terinspirasi dari sebuah diskusi panel online baru-baru ini, saat beberapa pemimpin Kristen yang sangat berpengaruh mendiskusikan AI dalam pelayanan. Dialog ini relevan — bukan hanya karena para panelisnya adalah para pemimpin yang dihormati — tetapi juga karena dialog ini diselenggarakan oleh salah satu majalah Kristen yang paling banyak didanai di Amerika Serikat. Oleh karena itu, ide-ide yang dikemukakan oleh para pria dan wanita ini akan memiliki jangkauan yang luas.

Nilai Potensial dari AI

Pertama, penting untuk dicatat bahwa para panelis menawarkan beberapa ide tentang bagaimana AI dapat membantu memajukan tujuan pelayanan kita.

1. AI, misalnya, dapat digunakan untuk membantu menganalisis garis besar agenda rapat untuk memastikan kita telah membahas semua poin yang relevan.

2. AI juga dapat bertindak sebagai sekretaris dan membuat ringkasan poin-poin penting dari catatan rapat kita atau bahkan menyarankan poin-poin tindakan.

3. AI dapat membantu mengelola jam kerja sukarelawan untuk menemukan jadwal kerja yang optimal. 

Pada daftar itu, saya akan menambahkan beberapa pemikiran saya sendiri.

1. AI dapat mengubah naskah khotbah atau pelajaran Alkitab menjadi promo berukuran buletin atau bahkan serangkaian postingan media sosial. Hal ini akan sangat membantu para pendeta yang memimpin gereja-gereja kecil dan tidak memiliki dukungan administratif.

2. AI dapat menjadi alat yang sangat membantu bagi gereja-gereja yang menginginkan seni buletin yang relevan, tetapi tidak memiliki seorang pun dalam jemaat mereka yang memiliki talenta tersebut. Sebagai contoh, ini adalah pendapat saya tentang Yakub yang bergumul, bukan dengan Malaikat Allah, tetapi dengan Malaikat AI.

Potensi Jebakan dari AI

Namun bersamaan dengan ide-ide bagus ini, saya juga mendengar beberapa hal dalam diskusi panel baru-baru ini yang mengganggu saya. Saya akan memparafrasakan pernyataan mereka di sini.

Seorang pemimpin berkata, “Ponsel pintar, yang menggunakan AI, adalah salah satu hal yang paling dekat yang pernah kita ciptakan dengan Roh Kudus. Jadi, AI adalah salah satu cara untuk memenuhi tujuan kita untuk masuk ke dalam hati dan pikiran orang-orang dan membantu mereka menemukan hubungan pribadi dengan Yesus.

Yang lain berkata, “Saat kami melakukan konseling pastoral, kami dapat menggunakan AI sebagai pelatih untuk mengajari kami cara menjadi lebih berbelas kasih, cara menunjukkan lebih banyak empati, dan cara meningkatkan ekspresi wajah untuk menyampaikan emosi yang tepat.”

Terakhir, panelis ketiga mengatakan, “Kita dapat menggunakan AI generatif seperti ChatGPT dan Gemini untuk mengajari kita cara berpikir tentang isu-isu sosial yang kompleks seperti jenis kelamin dan identitas gender dengan lensa alkitabiah.”

Setiap komentar ini menawarkan batu loncatan untuk berbagai macam percakapan. Dapatkah AI benar-benar mengajari kita cara menjadi manusia yang lebih baik? Dapatkah AI membantu kita menjadi lebih pengasih dan lebih berbelas kasih? Apakah AI generatif benar-benar dapat membantu kita memahami Alkitab dan menerapkannya dengan benar pada isu-isu sosial yang kompleks?

AI Memiliki Pengetahuan, Tetapi Tidak Memiliki Kebijaksanaan

Sepanjang diskusi panel yang berlangsung selama satu jam ini, ada benang merah yang tampaknya menghubungkan semua pertanyaan tersebut. Keyakinan yang mendasari para pemimpin Kristen ini adalah bahwa karena AI memiliki akses ke gudang pengetahuan yang sangat besar, maka AI memiliki kebijaksanaan untuk menjadikan kita manusia yang lebih baik. Lebih dari itu, para panelis percaya bahwa AI akan membantu orang Kristen menjadi pemurid yang lebih baik. AI, menurut mereka, akan membantu kita menjadi pembaca firman yang lebih baik yang dapat melatih orang lain untuk menjadi pelaku firman. Namun, apakah ini harapan yang realistis terhadap AI? Untuk berbagai alasan; secara teknologi, filosofis, teologis, dan spiritual, saya pikir jawabannya adalah tidak. AI, tidak peduli seberapa canggihnya bagi kita, bukanlah seorang pembimbing spiritual, pelatih kehidupan, mentor bagi para pemikir muda, konselor, atau pencetak lebih banyak murid yang lebih baik. AI adalah alat yang dirancang oleh manusia sehingga rentan terhadap kesalahan dan sering kali menciptakan fakta yang tidak sesuai dengan kenyataan. Pertimbangkan kegagalan Gemini baru-baru ini untuk menghasilkan gambar yang akurat dari tentara Nazi Hitler dan para pendiri Google.

Yang lebih bermasalah lagi adalah bahwa banyak pemimpin Kristen tampaknya tidak menyadari bahwa AI bukanlah pengamat budaya yang netral, tetapi memiliki bias pandangan dunia yang sama dengan para pemrogramnya. Dan bahkan jika AI memiliki kesadaran, hal ini tidak akan membuatnya menjadi pemandu yang cakap untuk mendalami Alkitab. Mengapa? Karena untuk mengenal firman Allah dan ditransformasikan olehnya, dibutuhkan suatu hubungan dengan penulisnya. Ketidakmampuan untuk mengenal firman Tuhan bukan hanya sebuah batasan yang secara sewenang-wenang saya berikan kepada AI, tetapi juga sebuah batasan yang Allah katakan kepada kita bahwa hal ini adalah sesuatu yang endemis pada setiap manusia yang tidak memiliki pengetahuan yang menyelamatkan tentang Yesus Kristus.

Saya teringat sebuah kisah yang diceritakan oleh Mortimer Adler, seorang filsuf terkenal dan editor buku-buku besar Dunia Barat. Adler menjalani sebagian besar hidupnya sebagai seorang ateis, tetapi kecemerlangannya menarik perhatian banyak orang Kristen. Dalam salah satu bukunya, ia menceritakan bagaimana para pendeta terkadang mengundangnya untuk datang dan berkhotbah di gereja-gereja mereka. Adler akan pergi ke gereja-gereja tersebut dan menyampaikan pesan berdasarkan Alkitab yang selalu diterima dengan baik. Namun, di kemudian hari, setelah ia menjadi percaya kepada Yesus, Adler mengenang masa-masa itu dengan penuh penyesalan. Ia menyadari bahwa meskipun ia mampu mengkhotbahkan fakta-fakta tentang Alkitab, ia tidak pernah dapat sepenuhnya memahami atau menyampaikan dengan penuh semangat hikmat Alkitab. Apa yang Adler temukan adalah pelajaran yang diajarkan oleh Rasul Paulus kepada kita.

“Sebab, siapakah di antara manusia yang mengetahui hal-hal dari manusia selain roh manusia yang ada di dalamnya? Demikian juga, tidak ada seorang pun yang mengetahui hal-hal dari Allah selain Roh Allah. Sekarang, kita telah menerima, bukan roh dari dunia, melainkan roh yang dari Allah supaya kita dapat mengetahui hal-hal yang dianugerahkan Allah kepada kita. Hal-hal yang juga kami ucapkan ini, bukan dalam kata-kata yang diajarkan oleh hikmat manusia, melainkan yang diajarkan oleh Roh dengan membandingkan hal-hal yang rohani dengan yang rohani. Namun, manusia yang tidak rohani tidak menerima hal-hal yang berasal dari Roh Allah karena hal-hal itu merupakan kebodohan baginya. Ia tidak dapat memahaminya karena hal-hal itu hanya dapat dinilai secara rohani. Manusia yang rohani menilai semua hal, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh siapa pun. Sebab, “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan sehingga dapat menasihati-Nya?” Namun, kami memiliki pikiran Kristus. (1 Korintus 2:11-16, AYT).”

Mempercayai Kuasa Generatif Allah

Ketika kita mempertimbangkan penggunaan AI dalam pelayanan, kita harus ingat bahwa tidak peduli seberapa canggihnya AI — bahkan jika AI dapat mencapai kesadaran — AI tidak akan pernah memiliki pikiran Kristus. Dapatkah Allah menggunakan AI dengan cara-cara yang positif? Tentu saja. Dalam Bilangan 22, Allah menggunakan nabi palsu Bileam, dan bahkan berbicara melalui keledainya. Jadi ya, jika Allah dapat berbicara melalui keledai Bileam, Dia pasti dapat menggunakan AI untuk tujuan yang baik. Namun, hal ini hanya berbicara tentang kekuatan generatif Allah kita, bukan kekuatan generatif AI.

Kata-kata Paulus kepada kita dalam 1 Korintus seharusnya menjadi penyemangat, baik sebagai pendidik maupun pelayan Injil. Tidak ada yang dapat menggantikan Roh Kudus dalam hal memahami dengan benar makna Alkitab dan misi kita untuk memuridkan lebih banyak dan lebih baik lagi, mengajar mereka untuk menaati segala sesuatu yang diperintahkan oleh Kristus.

(t/Jing-jing)

Diambil dari:
Nama situs: MIND MATTERS
Alamat artikel: https://mindmatters.ai/2024/03/wrestling-with-ai-making-more-and-better-disciples/
Judul asli artikel: Wrestling with AI
Penulis artikel: J.R. MILLER