
Doa yang Dihasilkan oleh Komputer? Bagaimana Kecerdasan Buatan Mengubah Keyakinan
2025-01-22 13:45:00
Awal musim panas ini, para aktivis memprotes rencana pembongkaran West-Park Presbyterian, sebuah gereja bersejarah di Upper West Side, Manhattan. Salah satu alasannya adalah karena gereja tersebut kesulitan untuk mempertahankan pintunya agar tetap terbuka; jemaatnya hanya berjumlah 12 orang.
Tantangan yang dihadapi West-Park Presbyterian cukup umum. Keterlibatan secara langsung dalam kebaktian keagamaan telah menurun sejak 2019, menurut survei Pew Research Center pada November 2022 yang juga menemukan bahwa "jumlah orang dewasa A.S. yang mengatakan bahwa mereka biasanya menghadiri kebaktian keagamaan setidaknya sebulan sekali menurun sedikit namun terukur," dari 33% pada 2019 menjadi 30% pada 2022.
Sebagian besar jemaat di Amerika Serikat berukuran kecil, dan semakin kecil. Jumlah kehadiran rata-rata dalam kebaktian mingguan turun dari 137 menjadi 65 orang antara tahun 2000 dan 2020, menurut laporan terbaru dari Hartford Institute for Religion Research.
"Banyak dari jemaat-jemaat yang sangat kecil ini, jika tidak berada di ambang kehancuran, berada dalam kondisi yang sangat dekat dengan kehancuran," kata Scott Thumma, direktur penelitian untuk lembaga ini, yang melakukan survei nasional besar-besaran terhadap 15.000 komunitas keagamaan. "Di beberapa bagian negara ini, saya dapat dengan mudah menebak bahwa dalam 10 tahun ke depan, 15% hingga 20% akan ditutup."
Pada saat kehadiran keagamaan tradisional menurun, para pemimpin agama telah menggabungkan inovasi untuk melibatkan anggota dan menarik anggota baru. Inovasi tersebut dapat berupa kebaktian di Zoom, video TikTok tentang cara melakukan ritual keagamaan, hingga teknologi terbaru: kecerdasan buatan.
Deus ex machina?
Beberapa pemimpin agama telah menggunakan ChatGPT sebagai bagian dari upaya mereka untuk terlibat dengan komunitas dengan cara yang inovatif. Di Jerman, sebuah gereja Lutheran baru-baru ini menawarkan kebaktian yang sebagian besar dibuat oleh chatbot AI. Orang-orang memadati bangku-bangku untuk mendengarkan kebaktian eksperimental tersebut, yang dipimpin oleh sebuah avatar pada layar di atas altar.
Organisasi dan pemimpin agama di Amerika Serikat telah memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang ini pada tingkat yang lebih rendah. Rabbi Yonatan Dahlen, dari Congregation Shaarey Zedek di Michigan, mengatakan bahwa beberapa rekannya yang beragama Kristen telah menggunakannya untuk korespondensi, pemasaran, dan konten media sosial.
Pada saat yang sama, banyak pemimpin agama yang mewaspadai AI dan percaya bahwa teknologi ini memiliki keterbatasan. Dahlen mengatakan bahwa dia pernah mencoba menggunakan ChatGPT untuk menulis D'var Torah, sebuah pengajaran singkat tentang sebuah bagian dari Taurat. Dia merasa bahwa D'var Torah yang baik berasal dari kerentanan dan pengalaman manusia. "AI tidak dapat melakukan hal itu," kata Dahlen.
Dayal Gauranga adalah direktur eksekutif Bhakti Center Manhattan, yang mewakili tradisi Bhakti Yoga dalam agama Hindu. "Apa yang membuat sesuatu menjadi besar pengaruhnya adalah ketika ada pengalaman langsung dari sesuatu," katanya. "Anda tidak akan mendapatkan hal itu hanya dengan membuat pesan tentang hal itu."
Pdt. Jabulani McCalister, pendeta senior di Gereja Baptis Covenant di West Bloomfield, Michigan, mengatakan bahwa dia tidak akan menggunakan AI untuk menulis khotbah. "Bagi saya, Roh Kuduslah yang memberikan apa yang harus saya katakan, bukan AI. Ketika berbicara tentang khotbah, Anda memberitakan firman Tuhan yang Dia berikan kepada Anda untuk dibagikan."
Beberapa pemimpin agama merasa bahwa adalah mungkin untuk berhubungan dengan yang ilahi melalui AI. "Segala sesuatu dalam agama, baik itu kitab suci, liturgi, studi, dll., pada dasarnya adalah alat untuk melampaui keberadaan ruang dan waktu yang normal dan menyelami kebenaran yang lebih dalam atau lebih mistik," kata Mr. Dahlen. "Saya tidak melihat alasan mengapa AI tidak dapat digunakan sebagai alat untuk upaya ini."
Pdt. A. Trevor Sutton, seorang pendeta dan cendekiawan Lutheran, memiliki keprihatinan terhadap spiritualitas yang dihasilkan oleh komputer. "Di manakah kita, sebagai manusia, yang tak tergantikan dan sangat penting?" tanya penulis "Redeeming Technology". "Membayangkan sebuah dunia yang di dalamnya hanya ada saya dan komputer, dan itulah agama saya? Saya melihat hal itu tidak dapat dipertahankan. Namun, jika itu adalah sebuah alat untuk mempertahankan komunitas kita dan satu sama lain dan kemanusiaan kita? Hal itu bisa berhasil."
Iman dan teknologi
Bahkan sebelum pandemi, tim peneliti Dr. Thumma menemukan adanya peningkatan dramatis dalam penggunaan teknologi. Pandemi telah mempercepat tren ini, dan 73% gereja sekarang menawarkan layanan hibrida, dengan penawaran jarak jauh dan juga secara langsung. Dari jemaat-jemaat ini, 81% berencana untuk terus menawarkan perpaduan antara kebaktian tatap muka dan online pada masa mendatang, dengan menggunakan media sosial seperti Facebook Live dan YouTube.
Misalnya, di gereja St. Helen, sebuah gereja Katolik di Westfield, New Jersey, mendorong jemaatnya untuk terhubung dengan paroki dan mendapatkan informasi terbaru melalui pesan teks. Di dekat pintu masuk, sebuah layar mengajak jemaat untuk menabung pohon dan mengunduh buletin menggunakan kode QR. Gereja ini juga menawarkan misa yang disiarkan secara langsung dan aktif di berbagai platform media sosial.
Sutton, seorang cendekiawan dan penulis, mengatakan bahwa praktik-praktik keagamaan saat ini terlihat berbeda, tetapi orang-orang masih menginginkan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. "Kehadiran di gereja mungkin menurun," katanya. "Akan tetapi, saya pikir orang-orang masih berusaha mencari makna transenden."
Meskipun ada manfaat untuk terlibat dalam media digital, peluang ini juga memiliki tantangan tersendiri, tambah Mr. Sutton. "Ibadah online membuat gereja lebih mudah menyampaikan pesannya di luar sana, tetapi dengan peluang itu muncul tantangan berupa terkikisnya komunitas tatap muka dan pergeseran kebiasaan."
Imam TikTok, #MediaNuns, dan Imam Instagram
David W. Peters memiliki lebih dari 83.000 pengikut dan 2,9 juta suka di TikTok. Yang membuatnya berbeda dari influencer lainnya adalah dia juga seorang Pendeta di St. Joan of Arc, sebuah Gereja Episkopal di Texas. Pendeta Peters memandang media sosial sebagai "alun-alun virtual" tempat dia dapat menyebarkan pesan gereja.
"Kami mencoba menemui orang-orang di tempat mereka berada," jelas Peters. "Gereja selalu melakukan hal itu."
Organisasi keagamaan dan pemuka agama juga berbagi informasi dengan masyarakat luas melalui media sosial. Sekelompok suster Katolik di Daughters of St Paul, yang juga dikenal sebagai #MediaNuns, memiliki jutaan penonton di TikTok, dan para biksu di Kamboja menjadi viral di platform tersebut. Di Inggris, Sabah Ahmedi, yang dijuluki "Imam Muda", menggunakan Instagram dan Twitter untuk melawan stereotip tentang Islam.
Dahlen mulai menggunakan Instagram sebagai seorang rabi magang. Selama pandemi, unggahannya sebagai "Motor City Rabbi" di TikTok mulai populer.
"Saya pikir penggunaan terbaiknya adalah untuk pendidikan," kata Dahlen. "Yudaisme tidaklah unik, tetapi memiliki kurva pembelajaran yang curam. Ada ribuan tahun tradisi." Video TikTok-nya yang paling populer adalah tentang topik-topik seperti cara mengenakan selendang doa atau menggantung mezuzah.
Pdt. Lizzie McManus-Dail, seorang milenial, telah menggunakan media sosial sejak SMP. Dia mulai menggunakan media sosial secara profesional setelah ditahbiskan pada tahun 2020.
"Saya ingin menjadi suara yang positif," kata Pendeta McManus-Dail, yang memimpin Jubilee Episcopal Church, sebuah jemaat baru di Austin Utara, Texas. Dia mengatakan bahwa pesan yang paling berdampak adalah bahwa "Anda tidak harus melepaskan agama, spiritualitas, atau hubungan Anda dengan Allah hanya karena orang lain mengatakan bahwa Anda tidak pantas lagi menjadi bagian dari jemaat berdasarkan seksualitas, gender, politik, dan lain-lain."
Media sosial telah memainkan peran besar dalam pertumbuhan Jubilee, dengan sekitar 75% anggota gereja datang ke organisasi ini melalui media sosial. "Setahun yang lalu, gereja kami baru saja mulai terbentuk; sekarang kami memiliki lebih dari 100 orang yang menyebut Jubilee sebagai rumah mereka," ujar McManus-Dail. "Menurut saya, ini adalah penggunaan media sosial yang sukses untuk memperluas dan memperdalam pengalaman keagamaan!"
Jebakan dan keterbatasan teknologi
Para pemimpin agama mengakui bahwa teknologi memiliki tantangan dan keterbatasan. Sebagai permulaan, budaya media sosial sering kali bertentangan dengan ideologi agama. Dengan biksu Kamboja di TikTok, misalnya, otoritas Buddha setempat mempertanyakan apakah konten yang biasanya menjadi tren di platform tersebut melanggar kode etik biara, yang melarang mencari ketenaran, bernyanyi, dan menari.
Gauranga, sang pemimpin Hindu, mengatakan bahwa mungkin ada godaan untuk membuat media sosial menjadi tentang diri Anda sendiri. "Sangat penting untuk menjaga ego Anda tetap terkendali dan memastikan Anda tidak terlalu terbawa suasana," tambahnya.
Kadang-kadang retorika yang ganas di platform media sosial bertentangan dengan prinsip-prinsip inti agama. "Meskipun menghibur dan populer, tidak diragukan lagi lingkungan media sosial dapat menjadi racun," kata Dahlen.
Kebersamaan sebagai sebuah komunitas masih sangat penting bagi Yudaisme dan media sosial tidak menyediakan hal itu, tambah Dahlen. "Kami tidak ingin media sosial menjadi begitu bagus sehingga benar-benar menggantikan komunitas," katanya. "Kami ingin orang-orang berada di sana [secara langsung]."
Ibadah virtual sangat bermanfaat bagi jemaat tertentu, tetapi ada sebuah peringatan, kata Dr. Thumma. "Bagi gereja-gereja tersebut, hal ini bermanfaat untuk meningkatkan jumlah kehadiran mereka, namun hal ini harus dibayar mahal karena mereka tidak selalu menjadi peserta yang aktif."
Dr. Thumma mencatat bahwa individu yang hadir secara virtual cenderung tidak mau menjadi sukarelawan dan cenderung menyumbangkan lebih sedikit uang. "Jika Anda memilih lebih banyak virtual, Anda akan memiliki lebih banyak orang, tetapi mereka akan kurang berkomitmen, kurang terlibat," katanya. Menurut penelitiannya, donasi per kapita per tahun adalah $2.479 untuk mereka yang hadir secara langsung, tetapi $1.083 untuk peserta yang lebih banyak hadir secara virtual daripada secara langsung.
Sutton mengatakan bahwa gereja telah mengalami banyak revolusi teknologi dan pergeseran paradigma selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, mesin cetak Gutenberg merupakan teknologi yang mengganggu pada abad ke-15 dan ke-16. Meskipun banyak orang di dalam gereja pada awalnya takut dan menolak inovasi ini, pada akhirnya kemunculan percetakan memiliki dampak positif bagi kekristenan. Setelah situasinya lebih tenang, komunitas agama menemukan cara untuk melanjutkan dan mengakomodasi teknologi baru.
Dia menambahkan bahwa dengan penggunaan teknologi yang lebih besar, penyeimbang sangat penting bagi organisasi keagamaan untuk berkembang. "Acara makan bersama atau pertemuan kelompok kecil atau mengunjungi orang-orang di rumah sakit menjadi jauh lebih penting."
"Dunia sedang mengalami krisis identitas saat ini," kata Dahlen. "Mengajukan pertanyaan-pertanyaan besar adalah hal yang penting saat ini. Kita di sini untuk mengeksplorasi identitas kita bersama."
(t/Jing-jing)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | The Christian Science Monitor |
Alamat artikel | : | https://www.csmonitor.com/USA/Society/2023/0718/Computer-generated-prayer-How-AI-is-changing-faith |
Judul asli artikel | : | Computer-generated prayer? How AI is changing faith. |
Penulis artikel | : | Ingrid Ahlgren |
Copyright © 2023 - Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). All Rights Reserved