Is AI Biblically Possible

PERTANYAAN

Apakah Kecerdasan Buatan (AI) Mungkin Menurut Alkitab?

JAWABAN

“Kecerdasan Buatan” (AI) adalah sebuah frasa yang merujuk pada sebuah program atau sistem komputer yang berpikir, bernalar, dan belajar dengan cara yang sama seperti manusia. Hal ini telah lama menjadi tema fiksi ilmiah — droid dari film Star Wars adalah mesin yang berpikir, bernalar, dan beremosi. AI dalam kisah-kisah fiksi sering kali mengambil peran sebagai penjahat, seperti HAL 9000 dari film 2001: A Space Odyssey, mesin-mesin di film The Matrix, atau tokoh Ultron dari Marvel Comics. Konsep kecerdasan buatan yang canggih terkait dengan gagasan tentang singularitas teknologi, yaitu titik ketika ciptaan manusia melampaui manusia dalam hal kemampuan penalaran, pemecahan masalah, dan pengembangan diri. Terlepas dari harapan dan ketakutan yang bertentangan, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa kecerdasan buatan yang sebenarnya adalah sesuatu yang mungkin, apalagi nyata.

Banyak orang yang melihat kecerdasan buatan pada masa depan menunjuk pada perkembangan mesin dan teknologi lainnya. Mereka mencatat bagaimana robot industri lebih cepat dan/atau lebih kuat daripada manusia. Kalkulator dapat melakukan operasi dengan akurasi yang sempurna dan dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada manusia. Komputer, tentu saja, dapat menyimpan, mengingat, dan memanipulasi data jauh lebih efisien daripada manusia. Para pendukung AI sering kali menunjuk pada komputer yang telah mengalahkan lawan manusia dalam kontes seperti catur atau kuis. Mengikuti jenis penalaran ini, beberapa orang berpendapat bahwa teknologi dapat berkembang sedemikian rupa sehingga mesin dapat berpikir sebaik atau lebih baik daripada manusia kebanyakan.

Sebuah analogi untuk menunjukkan bagaimana penalaran seperti itu gagal berkaitan dengan hewan dan manusia. Ketika seseorang berkata, “Mesin dan AI akan lebih baik atau lebih pintar daripada manusia,” itu sama saja dengan mengatakan, “Hewan lebih baik daripada manusia. Cheetah lebih cepat. Gajah lebih besar. Burung-burung lebih lincah.” Masalahnya, tentu saja, semua itu adalah hewan yang berbeda, dan mereka hanya “lebih baik” dalam kategori yang berbeda. Sebuah program AI mungkin “lebih baik” dalam bermain catur atau memasak atau bahkan membuat musik. Namun, agar AI dapat dikatakan sepintar atau lebih pintar dari manusia, sebuah program harus unggul dalam semua hal tersebut sekaligus.

Kunci untuk memahami gagasan kecerdasan buatan adalah mendefinisikan istilah-istilah seperti kecerdasan dengan hati-hati; dalam penggambaran populer tentang AI, istilah yang lebih umum adalah variasi dari pintar atau cerdas. Komputer sering terlihat cerdas, padahal sebenarnya mereka melakukan pemikiran tingkat sangat rendah dengan sangat cepat. Komputer tidak benar-benar cerdas; mereka hanya mampu melakukan tugas-tugas tertentu dalam waktu yang lebih singkat daripada yang bisa dilakukan manusia. Ada beberapa tugas yang tidak dapat mereka lakukan sama sekali. Jika seseorang mendefinisikan kecerdasan dengan cara menghilangkan konsep-konsep seperti moralitas, emosi, empati, humor, hubungan, dan lain sebagainya, maka frasa kecerdasan buatan tidak terlalu berarti.

Ini adalah poin yang sangat penting untuk diingat ketika membahas permainan strategi seperti catur atau go (permainan papan tradisional Jepang, Red.), yang sering kali dimenangkan oleh komputer, bahkan ketika berhadapan dengan para pemain terhebat sekalipun. Hal ini, menurut beberapa orang, merupakan bukti bahwa komputer bisa lebih pintar daripada manusia dan mungkin memang demikian. Namun, program yang mengalahkan manusia dalam permainan strategi dirancang khusus untuk memainkan permainan tersebut. Mungkin saja program tersebut menang, tetapi manusia dapat meninggalkan ruangan dan melakukan banyak hal lain yang tidak dapat dilakukan oleh mesin. Perangkat lunak yang memungkinkan mesin untuk berhasil dalam permainan trivia tidak dapat memberi tahu Anda cara mengikat sepatu Anda, membuat sandwich, menggambar bunga, menulis sajak, menghibur anak yang sedang sakit, berpura-pura menjadi tokoh dalam sebuah drama, atau menonton film dan kemudian menjelaskan alur ceritanya kepada orang lain. Kenyataannya, komputer AI yang dibuat khusus tersebut jauh lebih tidak cerdas daripada manusia yang mereka kalahkan dalam kompetisi yang terbatas.

Lebih jauh lagi, bahkan komputer yang paling canggih sekalipun masih mengadu kecerdasan manusia dengan kecerdasan manusia. Di satu sisi ada satu orang; di sisi lain ada mesin yang secara mekanis memanfaatkan kecerdasan kolektif banyak orang. Komputer yang mengalahkan manusia dalam permainan catur, permainan dam, atau kuis tidaklah “lebih pintar” daripada orang yang dikalahkannya. Komputer hanya lebih baik dalam mendapatkan hasil tertentu, sesuai dengan aturan permainan tertentu.

Frasa singularitas teknologi secara khusus mengacu pada momen spekulatif ketika kecerdasan buatan mencapai titik kritis, setelah itu ia meningkatkan diri tanpa masukan manusia dan melampaui kemampuan manusia. Dalam beberapa kasus, singularitas teknologi diantisipasi sebagai anugerah bagi umat manusia, dengan seluruh umat manusia mendapat manfaat dari penemuan yang dibuat oleh kecerdasan yang jauh lebih unggul. Dalam kasus lain — sebagian besar, pada kenyataannya — singularitas dikhawatirkan akan memicu kehancuran umat manusia seperti yang digambarkan dalam film-film seperti The Terminator dan sekuelnya. Pokok umum dari fiksi ilmiah adalah sistem komputer yang berevolusi dan belajar dengan sangat cepat sehingga melampaui pikiran manusia dan pada akhirnya mendominasi dunia.

Konsep singularitas teknologi juga mengasumsikan bahwa kekuatan pemrosesan akan terus berkembang selamanya. Hal ini bertentangan dengan apa yang kita ketahui tentang hukum alam semesta. Laju pertumbuhan teknologi komputasi pada akhirnya akan mencapai batas-batas fisika; para ilmuwan dan ahli komputer setuju bahwa ada “batas sulit” seberapa cepat teknologi tertentu dapat beroperasi. Karena kompleksitas yang diperlukan untuk mensimulasikan pikiran manusia jauh melampaui rancangan spekulatif, tidak ada alasan objektif untuk mengatakan bahwa kecerdasan buatan yang sebenarnya dapat ada, apalagi akan ada.

Pada tingkat yang lebih abstrak, matematika dan logika juga menunjukkan bahwa AI tidak akan pernah bisa menggantikan pikiran manusia. Konsep seperti Teorema Ketidaklengkapan Gödel menunjukkan dengan kuat bahwa sebuah sistem tidak akan pernah bisa menjadi lebih kompleks atau lebih mampu daripada penciptanya. Untuk membuat AI lebih baik daripada otak manusia, kita harus sepenuhnya memahami dan kemudian melampaui diri kita sendiri, yang secara logis bertentangan.

Secara spiritual, kita memahami keterbatasan kita sendiri karena, sebagai ciptaan Allah (Kejadian 1:27), kita tidak dapat mengalahkan kuasa penciptaan Allah (Yesaya 55:8-9). Selain itu, penggambaran Allah tentang masa depan tampaknya tidak mencakup singularitas teknologi apa pun (lihat kitab Wahyu).

Terlepas dari keterbatasan yang mereka hadapi, para peneliti terus berusaha mengembangkan kecerdasan buatan, dan sejumlah besar dana diinvestasikan dalam program-program yang menjanjikan untuk bekerja lebih jauh dalam asisten virtual (seperti Alexa atau Cortana), platform pembelajaran yang mendalam, dan biometrik. Tidak mengherankan jika sudah ada agama, yang disebut Way of the Future (Jalan Masa Depan), yang dimulai oleh mantan perancang Google, yang berencana untuk menyembah AI dan menganggapnya sebagai pemelihara dan pemandu manusia. Imajinasi sia-sia seperti itu bukanlah hal yang baru; umat manusia sering kali bersalah karena menyembah hasil karya tangan mereka sendiri. Way of the Future hanyalah versi modern dari para pembuat dan penyembah berhala.

Singkatnya, AI mungkin dapat melakukan tugas-tugas tertentu yang terbatas dengan lebih baik daripada yang dapat dilakukan manusia, tetapi tidak ada alasan logis, filosofis, atau alkitabiah untuk berpikir bahwa AI dapat menjadi “lebih baik” dalam arti yang sebenarnya. AI mungkin dapat meniru pola yang digunakan manusia saat kita berpikir, tetapi tidak akan pernah dapat menggantikan kecakapan, ketangkasan, dan kreativitas pikiran manusia. Terlepas dari ketakutan dan spekulasi, pertimbangan ilmu pengetahuan, observasi, dan Kitab Suci membantah kemungkinan adanya kecerdasan buatan yang sebenarnya atau singularitas teknologi. Singkatnya, konsep AI hanya menjadi fiksi yang menghibur, tetapi tidak lebih dari itu.(t/Jing-jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Got Questions
Alamat situs: https://www.gotquestions.org/artificial-intelligence-AI.html
Judul asli artikel: Is artificial intelligence (AI) biblically possible?
Penulis artikel: Tim Got Questions