Kecerdasan Buatan: Bagaimana orang Kristen dapat menggunakannya?

Dari asisten komputer Marvel, J.A.R.V.I.S, hingga karakter Arnold Schwarzenegger dalam film The Terminator, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bukanlah sebuah ide yang baru. Salah satu eksplorasi pertama dari konsep ini muncul pada tahun 1889 dalam novel “The Wreck of a World” karya William Grove. Meskipun kita belum melihat kecerdasan seperti manusia yang begitu canggih, perkembangan terakhir telah membuat AI menjadi topik yang sangat hangat. Minggu lalu, misalnya, Inggris menjadi tuan rumah konferensi keamanan AI global pertama di dunia, di Bletchley Park.

Apa itu AI? Sederhananya, AI adalah kemampuan komputer untuk menggunakan kumpulan data yang besar untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh manusia, seperti menghasilkan gambar, mengelola informasi, menulis esai, atau melakukan percakapan. Dengan sendirinya, AI tidak baik atau jahat — AI adalah alat yang dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan — tetapi, ada diskusi besar yang sedang berlangsung di seluruh lapisan masyarakat tentang penggunaan etis dari sistem semacam itu dan sifat ‘kesadaran’ buatan.

Saya tentu saja tidak memenuhi syarat untuk membicarakan hal ini. Sebagai gantinya, saya mencoba bertanya kepada ChatGPT — sebuah chatbot bertenaga AI — apa yang ‘dipikirkannya’ tentang masalah ini, terutama yang berkaitan dengan Alkitab. Inilah yang ditulisnya sebagai jawaban:

“Saat kita melangkah ke masa depan, kemunculan AI mengingatkan kita akan hikmat dari Amsal 3:5 dan 6: ‘Percayalah kepada TUHAN dengan sepenuh hatimu dan janganlah bersandar pada pengertianmu sendiri; dalam segala jalanmu akuilah Dia, maka Dia akan meluruskan jalanmu.’ AI memang dapat mengubah jalan kita, dan sangat penting bagi kita untuk mempercayai bimbingan Allah saat kita menavigasi perbatasan baru ini.”

Pesan tersebut ada benarnya! Tidak ada yang bisa membuat AI hilang; AI akan tetap ada di sini. Tanggapan kita — seperti halnya dalam segala hal — adalah mencari bimbingan Roh Kudus dalam cara kita berinteraksi dengannya, menyadari bahwa Bapa kita telah mengetahui lebih banyak tentang teknologi baru ini daripada yang kita ketahui.

Meskipun Gereja telah bergumul dengan perkembangan ilmiah yang baru pada masa lalu, tetapi ada manfaatnya: tanpa menerima teknologi yang sedang berkembang, kita tidak akan memiliki Alkitab yang pertama kali dicetak. Bayangkan apa yang mungkin dicapai dengan AI pada tahun-tahun mendatang. Akankah suatu hari nanti kita melihat pendeta yang diprogram atau pendeta mekanik? Saya rasa tidak. Meskipun hasil dari AI terkadang terlihat seperti manusia, tetapi tidak ada pemahaman atau empati di baliknya.

Namun, jika digunakan dengan benar, AI dapat membantu pendeta pemula untuk menyusun khotbah pertama mereka atau membantu membuat konten anak-anak untuk melengkapi pertemuan pagi setiap minggu. Mengutip pepatah lama, mengapa membiarkan Iblis memiliki semua teknologi terbaik? Dapatkah AI menjadi komponen kunci dalam pekerjaan kita untuk membawa orang-orang kepada kepenuhan hidup bersama Yesus?

Teknologi ini tidak diragukan lagi akan digunakan secara tidak etis oleh beberapa orang, tetapi hal itu tidak menghalangi potensi penggunaannya untuk kebaikan. Entah kita masing-masing memilih untuk menentangnya, menolak atau menerimanya, penggunaan AI dengan cepat menjadi meluas dan kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Perbedaan utama bagi kita adalah menempatkan Yesus sebagai pusat dari semuanya.

Renungkan dan tanggapi

Apakah Anda akan berdoa dengan doa yang dihasilkan oleh AI? Mengapa atau mengapa tidak?

Bacalah Ibrani 13:20 dan 21. Bagaimana AI dapat memperlengkapi Anda dalam melakukan kehendak Allah?

Dengarkan lagu ‘Oceans (Where Feet May Fail)’. Bagaimana Allah dapat meneguhkan, memberdayakan, dan menuntun Anda melalui masa-masa teknologi yang berkembang dengan cepat?

(t/Jing-jing)

Diambil dari:
Nama situs: Salvationist
Alamat artikel: https://www.salvationist.org.uk/articles/using-ai-as-christians
Judul asli artikel: AI: How could Christians use it?
Penulis artikel: Simon Hope