(Singularitas = suatu masa ketika kecerdasan buatan berkembang jauh sehingga melampaui kecerdasan manusia sehingga mengubah peradaban dan umat manusia, Red.)
Kecerdasan buatan (AI) kembali menjadi berita setelah membawa skor atas kemenangannya dalam pertandingan melawan manusia.
Suara paling keras yang menjelaskan tentang kemenangan tersebut adalah mereka yang memiliki tanda-tanda Singularitas atau momen ketika AI melampaui kecerdasan manusia. Outlet media dari The Atlantic hingga Charlie Rose dari PBS mencoba mengungkap klaim pendukung gerakan yang paling menonjol ini, Ray Kurzweil, kepada publik yang bingung. Umat Kristiani, khususnya, mungkin mempertanyakan jika teologi mereka menyetujui Singularitas dan cara menanggapi klaim Kurzweil bahwa hal itu akan menuntun pada kehidupan kekal.
Di halaman sampul majalah Time baru-baru ini, Lev Grossman berpendapat, “Anda dapat menolak … piagam Singularitarian, tetapi Anda harus menghargai Kurzweil karena menangapi masa depan secara serius. Singularitarianisme didasarkan pada gagasan bahwa perubahan itu nyata dan bahwa umat manusia bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.” Menurunnya gerakan ini dari tujuan utamanya merumuskan pertanyaan penting yang harus diajukan oleh orang-orang Kristen: Apakah manifestasi yang pada dasarnya humanis ini begitu menarik dan mengagumkan seperti yang diyakini oleh Grossman?
Diciptakan oleh Vernor Vinge dan dipopulerkan oleh Ray Kurzweil, Singularitas mengalami pasang surutnya di tengah publik, serta didukung oleh tampilan-tampilan mewah kecerdasan buatan (AI), seperti kemenangannya baru-baru ini di “Jeopardy!” oleh komputer Watson IBM. Meminjam bahasa dari astrofisika, Vinge dan Kurweil menggambarkan Singularitas sebagai momen di mana kemajuan teknologi mempengaruhi pergeseran paradigma yang signifikan sehingga menciptakan sebuah “cakrawala peristiwa” (suatu ambang batas peristiwa yang jika sudah dilewati akan masuk ke dalam Singularitas, Red). Menurut mereka, pergeseran ini akan dihasilkan oleh AI yang telah melampaui kecerdasan manusia. Ia akan secara radikal mengubah sesuatu menjadi mungkin terjadi sehingga peristiwa selanjutnya tidak dapat diprediksi lagi. Selain itu, Kurzweil berpendapat bahwa Singularitas itu pasti menjadi sebuah konsekuensi yang tak terhindarkan dari peningkatan kapasitas teknologi secara eksponensial.
Mengesampingkan kritik bahwa prediksi Kurzweil sering meragukan, apakah kemungkinan manusia super AI sesuai dengan antropologi Kristen? Tujuan ini terkait dengan posisi Strong AI, yang berpendapat bahwa kognisi adalah sebuah perhitungan komputer. Oleh karena itu, komputer dapat memiliki pikiran yang mirip dengan manusia. Sementara Selmer Bringsjord berpendapat bahwa Strong AI itu “konyol” dan tidak pantas mendapatkan sanggahan formal, argumen tentang Strong AI dengan cepat menjadi sangat teknis. Orang Kristen sering menolak Strong AI atas dasar teologis dari status antropologis khusus dari manusia sebagai pembawa Imago Dei. Namun, Russel C. Bjork berpendapat bahwa teologi Kristen sama sekali tidak melarang tujuannya.
Terkait dengan pandangan Kurzweil adalah harapan bahwa manusia dapat mencapai kekekalan dengan “mengunggah” pikiran mereka ke sistem AI. Pandangan inilah yang menimbulkan banyak kekhawatiran. “Ide tentang perubahan signifikan pada umur panjang manusia — yang tampaknya sangat kontroversial,” kata Kurzweil dalam Time. “Orang-orang menginvestasikan banyak upaya pribadi ke dalam filosofi tertentu yang berhubungan dengan masalah hidup dan mati. Maksud saya, itulah alasan utama kita beragama.” Memang Singularitarianisme itu sendiri sama dengan agama, seperti yang dikemukakan oleh Robert M. Baru-baru ini, Geraci dengan “teks-teks suci” yang membuat dasar sistem kepercayaan yang menjanjikan keselamatan dan membangun pandangan dunia. Ini pun menimbulkan masalah karena keberadaan agama semacam itu bertentangan dengan iman Kristen.
Apa yang disarankan di sini sehubungan dengan pertanyaan awal, yaitu bagaimana seharusnya kita menanggapi seruan Singularitarianisme untuk menggunakan teknologi guna membentuk masa depan kita? Mencoba mengatasi kematian melalui sarana teknologi bukanlah hal baru. Itu adalah tema sentral dalam teks tertua, dan salah satunya bergema di sebagian besar kitab Kejadian. Namun, kitab Kejadian juga menetapkan mandat budaya yang menegaskan kebaikan inheren dari upaya manusia. Pandangan alkitabiah membawa keduanya ke dalam ketegangan yang mengakui manusia sebagai rekan kerja Allah, tetapi juga ciptaan yang tunduk pada Tuhan kita.
Simulasi-simulasi terbatas fungsi kognitif Weak AI dimungkinkan, seperti yang ditunjukkan Watson, dan kapasitasnya meningkat pesat. Seiring berjalannya waktu, teknologi ini akan semakin mudah diakses melalui antarmuka yang nyaris mulus — setara dengan implan koklea (=prosedur penanaman alat bantu dengar yang dilakukan melalui tindakan operasi pada tulang temporal, Red.). Dalam diskusi-diskusi sebelumnya, Nigel Cameron berargumen bahwa penambahan teknologi pada tubuh manusia adalah tepat selama hal itu digunakan untuk memulihkan kemampuan yang hilang atau meningkatkan kapasitas yang ada dalam fungsi tubuh, daripada mengubahnya dalam bentuk barang. Namun, terjadinya sejarah teknologi manusia — baik pesawat maupun ponsel — merupakan salah satu peningkatan kapasitas dalam bentuk barang. Uji coba dalam bidang teknologi, saya kemukakan, bisa menjadi inovasi semacam itu berusaha untuk memajukan penguasaan kita atas dunia atau untuk menjadikan kita sebagai penguasa atas diri kita sendiri.
Misal, saya menyambut baik hadirnya komputer-komputer baru yang mendukung kehidupan kita, tetapi mintalah supaya kita ingat bahwa kita bukanlah Tuhan atas diri kita sendiri.(t/Jing-jing)
Jason E. Summers adalah Kepala Ilmuwan Riset Terapan di Akustik LLC, sebuah firma riset dan pengembangan yang berbasis di Washington, D. C. Karyanya mencakup pengembangan simulasi berbasis fisika untuk pelatihan dan algoritma pemrosesan sinyal berbasis kognitif untuk pembelajaran mesin. Anda dapat menemukan lebih banyak tentang pandangan pribadinya di Twitter (@jasonesummers).
Diterjemahkan dari:
Nama situs: Think Christian
Alamat situs: https://thinkchristian.net/can-singularity-and-christianity-coexist
Judul asli artikel: CULTURE AT LARGE Can Singularity and Christianity coexist?
Penulis artikel: Jason E. Summers