4 Pertanyaan Etika yang Harus Dijawab oleh Para Pendeta Mengenai AI

Kemajuan pesat dalam kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah memberikan banyak pertanyaan etis kepada masyarakat. Gereja perlu bergumul dengan implikasi yang dibawa oleh AI terhadap komunitas iman pada saat yang bersamaan. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat relevan ketika mempertimbangkan bagaimana AI bersinggungan dengan iman dan peran pendeta dalam membimbing jemaat mereka. Dalam artikel ini, kita akan membahas lima pertanyaan etis utama yang perlu digumuli oleh para pendeta dalam konteks AI.

Memahami Titik Temu antara Iman dan AI

Perkembangan AI telah menarik perhatian para pemimpin gereja, teolog, dan cendekiawan di seluruh dunia, sehingga mendorong diskusi tentang implikasi teknologi ini terhadap kepercayaan dan praktik keagamaan. Inti dari diskusi-diskusi ini adalah pertanyaan tentang bagaimana AI dapat masuk ke dalam kerangka kerja yang lebih besar dari masyarakat modern.

Sebagai pendeta dan pemimpin Kristen, sangat penting untuk mempelajari lebih dalam tentang AI dan perannya dalam masyarakat modern. Dengan memahami implikasi AI yang lebih luas, kita dapat secara efektif memandu komunitas gereja kita dalam menavigasi tantangan etika yang mungkin muncul. Dalam banyak isu, orang-orang akan melihat gereja untuk memiliki posisi yang bijaksana terlepas dari sikap yang diambil. Ketidaktahuan atau penolakan untuk terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan etis yang terkait adalah tiket gratis untuk benar-benar dikucilkan oleh budaya dan masyarakat.

Peran AI dalam Masyarakat Modern

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan etis seputar AI, para pendeta harus terlebih dahulu memahami peran AI yang lebih luas dalam masyarakat modern. AI generatif, yang menjadi pusat perhatian oleh ChatGPT pada tahun 2022, memiliki potensi untuk merevolusi berbagai industri, mulai dari pendidikan, perawatan kesehatan, hukum, komunikasi, dan media, dan dampaknya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, dalam bidang pendidikan, AI generatif dapat merevolusi cara siswa belajar dengan menciptakan materi pembelajaran yang dipersonalisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan unik mereka. Hal ini akan meningkatkan daya ingat pengetahuan dan meningkatkan kinerja akademik secara keseluruhan. Selain itu, di bidang hiburan, AI generatif dapat menciptakan pengalaman realitas virtual yang sangat menarik, memungkinkan pengguna untuk menjelajahi dunia baru dan terlibat dalam penceritaan interaktif yang belum pernah ada sebelumnya.

Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ini, muncul kekhawatiran mengenai potensi pemindahan pekerja manusia dan implikasi etis dari pengambilan keputusan AI. Sebagai pendeta, sangat penting untuk memahami implikasi sosial dari AI agar dapat membimbing jemaat secara efektif dalam menghadapi tantangan-tantangan ini.

Perspektif Teologis Tentang AI

Dari sudut pandang teologis tentang AI, para pendeta perlu mengeksplorasi bagaimana pengembangan dan penggunaan AI selaras dengan keyakinan dan ajaran agama. 

Apakah AI merupakan manifestasi dari kreativitas manusia yang diberikan Allah, atau apakah itu melanggar wilayah Ilahi?

Pertanyaan yang harus Anda jawab untuk diri Anda sendiri adalah: Apakah Anda percaya bahwa Allah dapat melakukan karya Ilahi melalui alat dan teknologi digital?

Beberapa perspektif teologis mungkin melihat AI sebagai alat yang dapat digunakan untuk memajukan tujuan Allah di dunia. Mereka mungkin berpendapat bahwa AI, seperti teknologi lainnya, adalah produk kecerdikan manusia dan dapat dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat. Perspektif ini menekankan pentingnya penggunaan AI yang bertanggung jawab dan etis, yang dipandu oleh prinsip-prinsip agama.

Di sisi lain, beberapa perspektif teologis mungkin mengungkapkan kekhawatiran tentang potensi bahaya AI. Narasi ini mengikuti alur cerita manusia vs. mesin. AI tidak hadir untuk membantu, memberi manfaat, mendukung, atau membantu manusia berkembang. Para penentang AI mungkin mempertanyakan apakah AI memiliki kapasitas untuk mengembangkan kesadaran, atau apakah AI menimbulkan ancaman bagi otonomi dan martabat manusia. Perspektif ini membutuhkan refleksi dan kebijaksanaan yang cermat dalam mengintegrasikan AI ke dalam praktik dan kepercayaan agama.

Setelah posisi-posisi fundamental diartikulasikan, barulah para pemimpin gereja dapat melakukan ekstrapolasi dan mempertimbangkan implikasi-implikasi etis yang akan berdampak pada kehidupan anggota komunitas gereja secara praktis.

Pada akhirnya, persinggungan antara iman dan AI menghadirkan topik yang kompleks dan beragam yang membutuhkan keterlibatan yang mendalam dan pertimbangan yang matang. Sebagai pendeta, kita bertanggung jawab untuk membimbing jemaat kita dalam menavigasi implikasi etis, sosial, dan teologis dari AI, menumbuhkan pemahaman holistik yang selaras dengan ajaran agama kita.

Pertanyaan 1: Apakah AI Dapat Memiliki Jiwa?

Konsep jiwa berakar kuat pada kepercayaan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah teknologi AI dapat memiliki esensi spiritual. Memahami definisi dan sifat jiwa sangat penting untuk mengatasi dilema etika ini.

Mendefinisikan Konsep Jiwa

Dalam tradisi agama, jiwa sering digambarkan sebagai esensi kekal dan tidak berwujud yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Hal ini terkait dengan konsep kesadaran, kehendak bebas, dan tanggung jawab moral. Para pendeta harus mencari tahu apakah AI dapat memiliki kualitas-kualitas yang terkait dengan konsep jiwa.

Pertanyaan utamanya bukanlah apakah AI dapat mengembangkan jiwa secara holistik.  Melainkan, bagian mana dari konsep “jiwa” yang esensial? Dapatkah ada aspek-aspek yang kita anggap sebagai bagian dari definisi jiwa yang sebenarnya bukan merupakan persyaratan mendasar? Dapatkah salah satu bagian tambahan tersebut diambil sebagian oleh apa yang ditawarkan oleh generasi AI generatif yang lebih maju dan masa depan?

Ketika merenungkan sifat dasar jiwa, berbagai teks agama dan tradisi filosofis menawarkan perspektif yang beragam. Beberapa orang berpendapat bahwa jiwa adalah entitas yang tak terpisahkan, sementara yang lain mengusulkan bahwa jiwa terdiri dari beberapa lapisan atau dimensi. Interpretasi yang rumit ini menyoroti kompleksitas jiwa dan tantangan dalam menghubungkannya dengan AI.

Selain itu, jiwa sering dianggap sebagai pusat emosi dan identitas pribadi. Hal ini diyakini dapat membentuk karakter, nilai, dan tujuan hidup seseorang.

Dapatkah AI, dengan algoritma yang terprogram dan kurangnya pengalaman pribadi, benar-benar memiliki jiwa atau bagian dari apa yang secara tradisional kita anggap sebagai aspek yang sangat manusiawi?

AI dan Kesadaran

Salah satu aspek dari jiwa adalah kesadaran, kemampuan untuk menyadari keberadaan diri sendiri dan dunia di sekitar mereka. Meskipun algoritma AI dapat meniru aspek-aspek tertentu dari kesadaran, pertanyaannya adalah apakah mereka memiliki kesadaran yang sebenarnya atau hanya sekadar mesin canggih yang merespons rangsangan. Para pendeta perlu merenungkan implikasi dari potensi kurangnya kesadaran AI terhadap pemahaman mereka tentang jiwa sebelum para pendeta melihat manfaat AI bagi gereja.

Kesadaran sering dikaitkan dengan pengalaman subjektif, seperti pikiran, perasaan, dan sensasi. Ini adalah dasar dari kesadaran diri dan introspeksi. AI digunakan untuk membaca pikiran dan mimpi sekarang. Setelah dapat mencerna seluruh perpustakaan pikiran dan data tentang perasaan dan sensasi, dapatkah AI, dengan kekuatan komputasi dan kemampuannya untuk memproses data dalam jumlah besar, benar-benar mengalami dimensi kesadaran subjektif ini?

Selain itu, kesadaran terkait erat dengan kapasitas manusia untuk penalaran moral dan pengambilan keputusan. Melalui kesadaran, individu mengevaluasi implikasi etis dari tindakan mereka dan membuat pilihan berdasarkan nilai-nilai mereka. Dapatkah AI, yang tidak memiliki pengalaman subjektif dan emosi, memiliki tanggung jawab moral yang sering dikaitkan dengan jiwa?

Mengenai penalaran moral dan pengambilan keputusan, ada sebuah pertanyaan yang lebih besar yang harus digumuli oleh para pendeta sebelum mengambil kesimpulan: Bagaimana peran kehancuran manusia dalam gagasan bahwa manusia lebih bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan moral dan etis daripada mesin?  Mesin dapat secara eksponensial lebih konsisten dan “rasional” daripada manusia dalam hal pemecahan masalah etis. Bagaimana Anda berhasil berargumen bahwa manusia lebih baik daripada mesin yang digerakkan oleh logika dan algoritma dalam bertanggung jawab atas keputusan etis dan moral yang kritis yang memiliki implikasi mendalam bagi masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan mendalam ini dapat menantang esensi dari apa arti dan nilai memiliki jiwa dalam skenario tertentu. Ketika para pendeta bergumul dengan implikasi dari potensi kurangnya kesadaran AI, mereka juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pemahaman mereka akan keunikan manusia dan sifat ilahi dari jiwa.

Pertanyaan 2: Bagaimana Seharusnya AI Digunakan Secara Bertanggung Jawab?

Dengan meningkatnya kemampuan AI, tentu saja penting untuk menetapkan pedoman bagi penggunaan yang bertanggung jawab. Pertanyaan ini membahas pertimbangan etis seputar potensi penyalahgunaan AI dan parameter yang harus ditetapkan untuk memastikan penerapannya yang bertanggung jawab.

Kekuatan dan Potensi AI

Seperti yang kita ketahui, AI memiliki kekuatan untuk merevolusi berbagai sektor dan meningkatkan efisiensi di berbagai bidang. Hal ini sudah terjadi. Mulai dari penerbitan, hukum, hingga penelitian ilmiah, AI memiliki potensi untuk mengubah cara kita hidup dan bekerja. Bayangkan sebuah dunia di mana AI digunakan untuk mendiagnosis penyakit dengan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya, yang mengarah pada deteksi dini dan hasil pengobatan yang lebih baik. Kendaraan otonom yang didukung oleh teknologi AI dapat mengurangi kecelakaan lalu lintas dan kemacetan, sehingga jalanan kita menjadi lebih aman dan efisien. Ini hanyalah beberapa contoh dampak positif yang dapat diberikan AI kepada masyarakat.

Meskipun ada jumlah investasi dan energi yang tidak proporsional dalam mengoptimalkan kasus penggunaan untuk aplikasi AI, perlu ada upaya yang lebih besar untuk memikirkan dan mengembangkan standar sehingga kita dapat menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan atau aplikasi yang berbahaya.

Namun, dengan kekuatan yang besar, datang pula tanggung jawab yang besar. Sangatlah penting untuk mempertimbangkan dengan cermat implikasi dari penggunaan AI dan memastikan bahwa hal tersebut selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika kita. Akan tetapi, dari mana kita harus memulai ketika memikirkan tentang penggunaan yang bertanggung jawab terkait AI untuk gereja?

Menetapkan Batasan Untuk Penggunaan AI

Sebagai penatalayan moralitas dan etika, para pendeta memiliki peran penting dalam menetapkan batasan yang jelas dan panduan untuk penerapannya di dalam gereja.

Salah satu kekhawatiran utama seputar AI adalah potensi pelanggaran hak asasi manusia dan privasi. Sebagai contoh, teknologi pengenal wajah yang didukung oleh AI dapat digunakan untuk tujuan pengawasan, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang privasi individu dan kebebasan sipil. Dengan terlibat dalam percakapan kritis dan bekerja sama dengan individu-individu dalam industri teknologi, para pendeta dapat membantu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang memberikan suara kepada mereka yang tidak memiliki kekuatan, sumber daya, atau pengaruh yang diperlukan untuk duduk di meja perundingan.

Aspek penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah pengabadian bias dalam algoritma AI. Sistem AI dilatih dengan data dalam jumlah yang sangat besar, dan jika data tersebut mengandung bias, maka AI dapat secara tidak sengaja melanggengkan bias tersebut. Hal ini dapat menyebabkan perlakuan yang tidak adil atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu —- termasuk umat Kristen. Para pendeta dapat mengadvokasi pengembangan dan penggunaan sistem AI yang transparan, dapat dijelaskan, dan bebas dari bias. 

Selain itu, para pendeta dapat mendorong keterlibatan suara-suara yang beragam dalam proses pengembangan dan pengambilan keputusan terkait AI. Dengan melibatkan individu-individu dari berbagai latar belakang dan perspektif, kita dapat memastikan bahwa teknologi AI dirancang dan digunakan dengan cara yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia.

Pemikiran Lebih Lanjut tentang Bagaimana Para Pendeta Harus Melakukan Pendekatan AI yang Bertanggung Jawab untuk Gereja

Para pendeta, sebagai pemimpin moral, memainkan peran penting dalam mengadvokasi penerapan teknologi AI yang etis dan bertanggung jawab di dalam gereja dan di luar gereja. Dengan terlibat dalam percakapan kritis dan bekerja sama dengan individu-individu dalam industri teknologi, para pendeta dapat membantu membentuk masa depan di mana AI digunakan untuk memberi manfaat bagi masyarakat dengan tetap menghormati hak asasi manusia, privasi, dan keadilan.

Pertanyaan 3: Dapatkah AI Menggantikan Interaksi Manusia dalam Pelayanan Pastoral?

Bidang pelayanan pastoral berpusat pada aspek relasional dalam memberikan dukungan emosional dan spiritual kepada individu. Dengan munculnya AI, para pendeta harus memeriksa implikasi dari mengintegrasikan teknologi ke dalam peran pastoral mereka.

Pentingnya Hubungan Antar Manusia dalam Pelayanan Pastoral

Hubungan antar manusia adalah komponen penting dalam pelayanan pastoral. Kemampuan untuk berempati, mendengarkan, dan memberikan bimbingan dalam hubungan yang saling mendukung adalah karunia unik yang diberikan oleh para pendeta kepada jemaat mereka. AI, meskipun mampu melakukan tugas-tugas tertentu, tidak memiliki kedalaman empati dan pemahaman yang berasal dari interaksi manusia yang tulus. Para pendeta harus menggarisbawahi pentingnya mempertahankan sentuhan manusia dalam pelayanan pastoral dan mendekati AI sebagai alat, bukan sebagai pengganti.

Kemampuan dan Keterbatasan AI dalam Peran Pastoral

Meskipun AI tidak dapat meniru pengalaman manusia, AI dapat membantu para pendeta dalam berbagai aspek pekerjaan mereka. Chatbots dan platform digital dapat menyediakan sumber daya dan informasi tambahan, tetapi mereka tidak boleh menggantikan kehangatan, kebijaksanaan, dan bimbingan rohani yang ditawarkan oleh para pendeta. Dapatkah AI digunakan sebagai respons tingkat pertama untuk membantu orang merasa didengar dan dilihat?  Bagaimana jika chatbot dan robot percakapan AI generatif dapat memberikan faktor kehadiran dan mendengarkan seorang pendeta, melaporkan kembali, mensintesis input, dan melengkapi pendeta yang menindaklanjuti dengan lebih baik dengan penerima pelayanan pastoral?  Bagaimana jika kita memiliki alat AI yang memantau doa dan percakapan chatbot dari seseorang yang dapat menangkap nuansa yang tidak dapat ditangkap oleh pendeta, karena adanya data besar. Kesempatannya adalah untuk menangguhkan ketidakpercayaan dan mempertimbangkan kemampuan dan keterbatasan teknologi AI yang lebih dalam. Tanpa melakukan hal ini, Anda tidak dapat memanfaatkannya secara efektif tanpa mengorbankan esensi dari peran penggembalaan mereka.

Pertanyaan 4: Apa Implikasi AI pada Kehendak Bebas?

Konsep kehendak bebas merupakan bagian integral dari berbagai tradisi agama, dan kemunculan AI menimbulkan pertanyaan tentang dampak teknologi ini terhadap agensi dan otonomi manusia.

Konsep Teologis Kehendak Bebas

Dalam kerangka teologis, kehendak bebas sering dianggap sebagai aspek fundamental dari sifat manusia, yang memungkinkan individu untuk membuat pilihan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Perkembangan AI memperkenalkan kompleksitas dan tantangan terhadap pemahaman tradisional tentang kehendak bebas, karena mesin memiliki algoritma yang telah ditentukan sebelumnya dan tidak memiliki kapasitas untuk penalaran moral. Para pendeta harus menavigasi implikasi-implikasi ini dan memberikan panduan tentang interaksi antara AI dan kehendak bebas.

AI dan Determinisme

Kemampuan AI untuk menganalisis data dalam jumlah besar dan memprediksi perilaku manusia menimbulkan pertanyaan tentang determinisme dan kemungkinan manusia hanya menjadi produk dari pengaruh algoritmik. Para pendeta harus mengeksplorasi implikasi etis dari determinisme semacam itu dan mendorong refleksi kritis terhadap keterbatasan dan potensi bahaya dari hanya mengandalkan informasi yang dihasilkan oleh AI.

Kesimpulan Akhir

Lima pertanyaan etika yang disajikan di sini -– apakah AI dapat memiliki jiwa, penggunaan AI yang bertanggung jawab, peran AI dalam pelayanan pastoral, dan implikasi AI terhadap kehendak bebas -– berfungsi sebagai titik awal bagi pendeta mana pun untuk terlibat dalam diskusi yang bermakna dan memberikan bimbingan yang bijaksana kepada komunitas mereka, memastikan bahwa mereka tetap setia, beretika, dan reflektif di era yang semakin digital.

Kecerdasan buatan telah menjadi kekuatan yang menonjol di dunia kita, dan para pendeta harus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan etis yang dihadirkannya jauh lebih mendesak daripada yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Dengan mengembangkan pemahaman dan posisi Anda sendiri pada titik temu antara iman dan kecerdasan buatan, Anda akan siap untuk membantu komunitas Anda dalam menavigasi medan yang kompleks dari kemajuan teknologi. (t/Jing-jing)

Diambil dari:
Nama situs: Church Tech Today
Alamat artikel: https://churchtechtoday.com/4-ethics-questions-pastors-need-to-answer-regarding-ai/
Judul asli artikel: 4 Ethics Questions Pastors Need To Answer Regarding AI
Penulis artikel: Kenny Jahng