Mengapa Kita Ingin AI Menafsirkan Alkitab?

Para teknisi menggunakan AI untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa baru. Model bahasa yang besar mensimulasikan bahasa Alkitab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis modern. Seorang pengguna Reddit yang meminta ChatGPT untuk menulis cerita Alkitab tentang Yesus yang menerima orang-orang transgender. Aplikasi baru yang memungkinkan orang mengobrol dengan tokoh-tokoh Alkitab seperti Musa, Yesus, dan bahkan Yudas Iskariot.

Seiring dengan para pekerja yang khawatir dengan pekerjaan mereka dan para konspirator yang khawatir dengan pengambilalihan oleh robot, banyak cendekiawan dan pendeta yang khawatir dengan dampak AI terhadap penafsiran Alkitab. Ketika orang-orang semakin beralih ke AI untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis mereka, bagaimana teknologi ini akan membentuk pembacaan Alkitab kita?

Sebelum kita menimbang pro dan kontra dari alat bantu AI untuk studi Alkitab, kita harus mempertimbangkan pertanyaan yang lebih dalam: Mengapa kita ingin AI membantu kita menafsirkan Alkitab? Kita menggunakan alat bantu pada Alkitab karena kita berpikir bahwa alat bantu tersebut sesuai dengan tugas penafsiran Alkitab. Untuk apa AI memberikan solusi? Kebutuhan apa yang dipenuhinya?

Sejarah penafsiran Alkitab di Amerika dapat memberikan beberapa jawaban.

Jauh sebelum komputasi modern, industri penerbitan Alkitab di Amerika dipenuhi dengan bahan-bahan referensi ekstrabiblikal: konkordansi, tafsiran, dan bagan. Metode pencetakan yang baru membuat penerbitan menjadi semakin efisien karena tingkat melek huruf menjadi meningkat sehingga lebih banyak Alkitab dan panduan membaca Alkitab yang dicetak.

Menurut sejarawan Seth Perry, dalam bukunya “Bible Culture and Authority in the Early United States”, berkembangnya konkordansi secara unik membentuk sejarah keagamaan Amerika. Konkordansi cocok dengan etos Amerika: alih-alih mendengarkan otoritas gereja menafsirkan teks, konkordansi memungkinkan pembaca awam untuk membiarkan Alkitab menafsirkan dirinya sendiri. Catatan-catatan tersebut tidak berasal dari tradisi gereja atau sarjana Alkitab, tetapi hanya merujuk pada bagian-bagian lain dari Alkitab. Cara ideal untuk membaca Alkitab digambarkan dengan tepat dalam judul salah satu Alkitab populer yang diterbitkan pada tahun 1792: “Brown’s Self-Interpreting Bible”.

Berkembangnya alat bantu pembacaan Alkitab mendorong berkembangnya jenis pembacaan tertentu. Konkordansi membentuk kebiasaan yang disebut Perry sebagai pembacaan Alkitab “indeksikal”, “diskontinyu”, dan “kutipan”. Alih-alih membaca bagian-bagian Alkitab yang lebih besar dalam konteks sastranya, pembaca saat itu dibentuk untuk memikirkan Alkitab sebagai titik-titik data yang terisolasi.

Ketertarikan kita terhadap Alkitab sebagai data muncul kembali pada pertengahan abad ke-20. Di tengah-tengah Perang Dingin, sebuah cara tertentu untuk membaca Alkitab — dispensasionalisme — menjadi semakin populer. Teologi tidak hanya disebarkan melalui karya-karya teologis, tetapi juga melalui karya fiksi, seperti waralaba “Left Behind” yang sukses serta kisah-kisah fiksi tentang “Pengangkatan” dan akhir zaman yang membentuk imajinasi teologis orang Kristen Amerika.

Alkitab memainkan peran penting dalam kisah-kisah ini karena orang-orang yang “tertinggal” itu berjuang untuk memahami peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi. Catatan sejarawan Crawford Gribben mengenai fiksi Pengangkatan, “Writing the Rapture”, mencatat bahwa banyak dari novel-novel ini yang menggambarkan teologi dispensasional sebagai sesuatu yang jelas, bahkan aksiomatik. Tokoh-tokoh dalam novel-novel tersebut membaca Alkitab tanpa alat bantu atau panduan apa pun, dan sampai pada kesimpulan dispensasional hanya dengan membaca teksnya.

Salah satu novel dari periode tersebut, “The Omega Project”, yang ditulis oleh seorang penginjil Pantekosta, Morris Cerullo, mengambil pendekatan ini dan menerapkannya pada teknologi baru pada tahun 1980-an. Dalam cerita tersebut, perdana menteri Israel merekrut sekelompok pemrogram komputer untuk membangun “bank data nubuat Alkitab yang belum terpenuhi” dalam rangka merespons Pengangkatan yang baru saja terjadi. Ini adalah kisah fiksi tentang penafsiran Alkitab, tetapi menggambarkan pendekatan terhadap Alkitab yang dimiliki oleh banyak orang Amerika. “Kami adalah pemrogram komputer, bukan filsuf,” kata salah satu karakter.

Bahkan, sebelum orang Kristen pada umumnya dapat menggunakan komputer untuk menafsirkan nubuat-nubuat Alkitab, kisah-kisah ini secara tidak sadar mengomunikasikan bahwa Alkitab dapat diorganisir dan diproses sebagai titik-titik data yang terpisah dari pengetahuan teologis atau tuntunan Roh Kudus. Khususnya pada tahun 1980-an, periode yagn diwarnai oleh ketidakstabilan internasional dan ketakutan akan perang nuklir, ada banyak orang Kristen yang tertarik pada metode penafsiran Alkitab yang memberi mereka kepastian yang besar tentang masa depan mereka. Mereka tertarik pada gagasan bahwa bagian-bagian Alkitab yang paling aneh dapat dimengerti jika kita menggunakan alat yang tepat seperti memasukkan data ke dalam komputer.

Saat ini, impian akan Alkitab yang dapat “menafsirkan sendiri” yang diprogram oleh komputer tampaknya menjadi kenyataan. Bahkan, sebelum adanya alat bantu Alkitab AI terbaru, konkordansi online dan perangkat lunak pembelajaran Alkitab telah menarik minat kita untuk memiliki Alkitab yang menafsirkan dirinya sendiri. Sekarang, kita bahkan tidak perlu membuka-buka konkordansi di bagian belakang Alkitab kita. Kita cukup mengeklik kata yang diberi hyperlink untuk melihat setiap kali kata tersebut digunakan dalam Alkitab atau untuk membaca referensi silang yang relevan dengan kata tersebut.

Teolog John Dyer, dalam bukunya “People of the Screen”, meneliti bagaimana sumber-sumber digital membentuk kebiasaan membaca yang Injili. Banyak peserta yang berpatisipasi dalam penelitian Dyer berbicara tentang penggunaan alat-alat digital untuk menemukan “kata kunci” dengan mudah, melakukan studi kata, atau mencari ayat-ayat. “Cara cepat” ini hanya dimungkinkan oleh teknologi yang relatif baru, tetapi pendekatan terhadap Alkitab yang digunakah sudah setua Amerika.

Kebiasaan membaca Alkitab selalu dibentuk oleh teknologi — dari gulungan kitab, kodeks, hingga mesin cetak. Namun, sejarah yang secara mengejutkan menunjukkan konsistensi ini menyingkapkan asal-usul yang lebih dalam dari kebiasaan membaca kita; lebih dari sekadar teknologi yang tersedia. Keinginan kita yang konsisten untuk melihat Alkitab sebagai “data” mengungkapkan sebuah tantangan teologis bagi kaum Injili Amerika. Ketika tradisi-tradisi lain mengandalkan liturgi dan kredo-kredo untuk memahami Alkitab, kaum Injili Amerika lebih memilih untuk “berpegang teguh pada teks.” Kita cenderung menghargai pembacaan Alkitab secara pribadi dan sering kali secara khas menolak pemaksaan otoritas keagamaan atau tradisi gereja.

Namun demikian, ketergantungan kita pada alat-alat yang seharusnya netral dan objektif untuk menafsirkan Alkitab (dari konkordansi cetak hingga komputer), yang sering kita gunakan secara terpisah, dapat membayangi pekerjaan Roh Kudus, bimbingan komunitas kita, dan kearifan tradisi.

Kebiasaan memperlakukan Alkitab sebagai sebuah daftar fakta memberi kita ilusi objektivitas — sebuah penafsiran yang bebas dari bias atau tradisi teologis. Akan tetapi, hal itu hanyalah sebuah ilusi. Faktanya, konkordansi dan referensi silang pun mengandung penilaian-penilaian teologis tertentu.

Perry mencatat satu contoh penting: “kutukan Ham” sebagai pembenaran untuk perbudakan. Kisah aneh tentang ketelanjangan Nuh dan kutuk terhadap anaknya itu dalam Kejadian 9 menjadi sangat penting pada masa-masa sebelum terjadinya perang sipil di Amerika bagian Selatan. Konkordansi dan referensi silang dalam studi Alkitab akan memadankan bagian ini dengan 1 Raja-raja 9:20-21 dan Yosua 9:23 untuk mengartikulasikan bahwa kutukan terus berlanjut hingga ke era modern sehingga memperkuat asosiasi antara suku-suku Kanaan dengan orang Afrika.

Praktik menyajikan teks dengan referensi silang yang tampaknya netral ini pada kenyataannya justru memperkokoh teologi penaklukan yang berdasar pada prasangka rasial. Pilihan untuk mengaitkan beberapa ayat dengan ayat yang lain selalu merupakan sebuah penilaian teologis.

Ketika kita memikirkan cara-cara yang tepat untuk menggunakan teknologi baru dalam penafsiran Alkitab, kita harus memeriksa, bukan hanya teknologi yang kita gunakan, tetapi juga keinginan yang kita bawa ke dalam teks.

Apakah kita beralih kepada teknologi untuk menghindari pekerjaan yang sulit dengan meminta bantuan komunitas kita dalam memahami ayat-ayat yang menantang? Apakah kita mencari cara yang tampaknya objektif untuk menafsirkan Alkitab sementara kita lalai untuk merefleksikan karunia-karunia dari tradisi dan teologi Kristen untuk memandu penafsiran kita? Apakah kita menggantikan studi yang berkepanjangan terhadap seluruh Alkitab dengan cara-cara singkat yang menyatukan ayat-ayat yang terisolasi?

Salah satu peserta dalam penelitian Dyer berbicara tentang beralih kembali ke sumber-sumber cetak setelah menggunakan alat bantu digital dan merasa frustrasi ketika ia mencari “komentar atau klarifikasi terhadap kata-kata tertentu di luar kebiasaannya, dan ternyata tidak ada”. Kita beralih ke alat bantu AI untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar Alkitab yang kita miliki karena keinginan yang baik untuk memahami firman Tuhan. Akan tetapi, penggunaan alat bantu semacam itu sering kali melatih kita untuk mendapat jawaban dengan mudah dan dapat diakses dengan instan bagi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membutuhkan waktu, cara yang lebih berantakan, dan membutuhkan lebih banyak kerja sama. Keinginan kita terhadap objektivitas sering kali merupakan keinginan untuk terbebas dari batasan-batasan komunitas.

Mungkinkah kita lebih suka mengajukan pertanyaan kepada ChatGPT tentang Alkitab karena tidak memerlukan relasi yang mendalam? Dengan AI, tidak ada pertanggungjawaban jika penafsiran kita menuntut sesuatu yang tidak bersedia kita korbankan, selain itu tidak ada tantangan untuk menavigasi ketidaksepakatan dan perbedaan dalam penafsiran. Dalam hal membaca Kitab Suci, AI tidak dapat menjamin bahwa kita tidak akan menghindari karunia keluarga Allah yang telah diberikan oleh Roh Kudus. Sebaliknya, alat bantu ini mempermudah kita untuk melakukannya.

Beberapa perspektif atau tradisi selalu menginformasikan pembacaan kita, entah itu penerbit Alkitab abad ke-19, penulis novel “a Rapture”, atau pengembang program komputer. Tidak ada yang dapat menghindari kenyataan bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam bentuk cerita, surat, nubuat, dan puisi yang tidak dapat direduksi menjadi titik-titik data. Selain itu, tidak ada yang dapat menghindari kenyataan bahwa kita sebagai makhluk yang terbatas dan telah jatuh ke dalam dosa membutuhkan bimbingan untuk mendengar firman Tuhan dengan benar.

Alih-alih mencari cara untuk menafsirkan Alkitab tanpa adanya bimbingan, kita harus memilih bimbingan tersebut dengan bijaksana, dengan berpaling kepada hikmat orang-orang Kristen di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah — dan kepada mereka yang berkumpul bersama kita setiap minggu untuk mendengarkan firman Tuhan.

Tuhan Yesus sendiri mencatat bahwa kita dapat menggunakan semua alat yang tepat, tetapi kehilangan keseluruhan cerita: “Kamu mempelajari Kitab Suci karena kamu menyangka bahwa di dalam Kitab Suci kamu akan mendapatkan hidup yang kekal; dan Kitab Suci itu juga memberi kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak mau datang kepada-Ku supaya kamu hidup.” (Yohanes 5:39-40, AYT)

Kita pun dapat mengajukan semua pertanyaan yang tepat kepada ChatGPT, menggunakan semua alat digital yang tepat, tetapi tetap saja kehilangan gambaran yang utuh dari Injil — sebuah pesan yang radikal dan menarik, yang telah dipelihara dan diturunkan dari generasi ke generasi umat Allah.

Kita harus dengan hati-hati dan setia mempertimbangkan karunia dan tantangan dalam menggunakan alat bantu AI untuk membaca dan menafsirkan Alkitab. Namun, jika kita gagal untuk bertanya mengapa kita ingin AI menjawab pertanyaan-pertanyaan Alkitab kita, kita akan terus mengulang kebiasaan yang salah dalam membaca Alkitab — dengan bantuan AI atau tidak. (t/Santi)

Sumber:
Nama situs: Christianity Today
URL: https://www.christianitytoday.com/ct/2023/december/ai-artificial-intelligence-interpret-scripture-bible.html
Judul artikel: Why Do We Want AI to Interpret Scripture?
Penulis: Kaitlyn Schiess