Pendeta: Jangan Pimpin Jemaat Anda Menjadi Takut akan AI

Sebagai seorang pendeta, sebagian besar email saya berurusan dengan hal-hal yang biasa terjadi dalam pelayanan: jadwal pelajaran Alkitab, komentar tentang kebaktian, atau Tupperware yang salah tempat pada acara makan-makan baru-baru ini. Namun akhir-akhir ini, saya mendapati beberapa pemimpin gereja yang mengajukan pertanyaan kepada saya tentang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).

Beberapa orang telah meminta sumber daya tentang cara memanfaatkan kemampuannya dan menghindari bahayanya. Beberapa lainnya meminta saran kepada saya tentang bagaimana mereka dapat membantu jemaat mereka menghindari penipuan yang dilakukan menggunakan AI, seperti tiruan suara otomatis dari pendeta mereka yang menelepon untuk meminta uang.

Sebagai seorang penulis buku “Redeeming Technology: A Christian Approach to Healthy Digital Habits” (Menebus Teknologi: Pendekatan Kristen terhadap Kebiasaan Digital yang Baik, Red.), seorang kandidat Ph.D. dalam bidang eklesiologi digital, dan seorang pendeta, saya sering berpikir tentang teknologi yang sedang berkembang dan gereja.

Tradisi gereja Lutheran saya tidak dikenal sebagai gereja yang sangat futuristik atau berteknologi — kami pernah memandang penangkal petir sebagai halangan bagi pemeliharaan ilahi. Akan tetapi, bukan hanya umat Lutheran yang tiba-tiba penasaran dengan AI. Sepertinya semua orang tertarik dengan AI pada saat ini, termasuk banyak orang yang khawatir akan bahayanya.

Geoffrey Hinton, yang dikenal sebagai “godfather” AI, baru-baru ini berhenti dari jabatannya di Google karena kekhawatiran akan kurangnya kebijakan yang melingkupinya. Mahkamah Agung Amerika baru-baru ini mempertimbangkan sebuah kasus tentang peraturan internet tentang algoritma komputer. Dan, ratusan ilmuwan, pakar teknologi, dan pemimpin industri baru-baru ini memposting pernyataan yang memperingatkan bahwa AI menimbulkan risiko besar bagi umat manusia, sebanding dengan pandemi dan perang nuklir.

Para pemimpin Injili juga telah mengeluarkan pernyataan, dan para ahli AI telah mempertimbangkan bagaimana hal ini dapat berdampak pada masa depan teologi dan penafsiran Alkitab. Sebagai pendeta, kita dapat membantu jemaat kita untuk memikirkan dampak potensial dari AI generatif, untuk kebaikan dan kejahatan.

Orang Kristen Bertanya Kepada ChatGPT Tentang Tuhan. Apakah Ini Berbeda dengan Googling?

Para ahli dari seluruh dunia menjelaskan konsekuensi revolusi AI bagi orang-orang yang percaya di dalam dan di luar internet.

DISUSUN OLEH MORGAN LEE

Selama bertahun-tahun, berbagai bentuk AI sederhana telah digunakan dalam pelayanan: Pekerja gereja menggunakannya untuk mendikte suara saat menulis khotbah, pelajaran Alkitab, atau email. Staf gereja menggunakannya untuk pencairan cek jarak jauh untuk persepuluhan dan persembahan. Sementara para pendeta menggunakannya saat menggunakan mesin pencari seperti Google atau Bing untuk melakukan persiapan khotbah dan penelitian.

Iterasi sebelumnya dari aplikasi AI pembelajaran mesin dapat mencari dan mempelajari kumpulan data yang sangat besar. Akan tetapi, di balik banyak berita utama baru-baru ini, terdapat bentuk teknologi yang relatif baru yang dikenal sebagai AI generatif, yang menggunakan mekanisme yang sama untuk membuat konten orisinal—termasuk teks, gambar, video, atau audio. Aplikasi konsumen seperti ChatGPT, Dall-E, dan Murf merupakan aplikasi AI generatif yang populer, selain Bard, integrasi AI baru dari Google.

Tidak sulit untuk membayangkan bagaimana para pendeta dan pemimpin gereja dapat menggunakan alat-alat ini untuk pekerjaan pelayanan sehari-hari.

Produk Google seperti Docs dan Gmail sekarang dapat membantu pengguna dengan berbagai tugas penulisan dasar. Misalnya, staf gereja dapat mengetikkan beberapa petunjuk tentang posisi staf yang terbuka, dan AI generatif akan membuat deskripsi pekerjaan yang hampir siap untuk dikirim. Dan, karena banyak gereja tidak mampu membayar untuk pekerjaan desain grafis khusus, aplikasi pembuatan gambar seperti Dall-E dapat membantu untuk membuat logo atau gambar pendukung yang dapat digunakan dalam seri khotbah.

Hal yang sama berlaku untuk video. Meskipun dahulu dibutuhkan waktu berminggu-minggu dan anggaran yang besar untuk membuat konten video, platform AI generatif seperti Synthesia memungkinkan gereja untuk membuat konten ini dengan cepat dan dengan biaya yang cukup murah. Misalnya, staf dapat dengan mudah membuat video pelajaran Alkitab kelompok kecil berkualitas tinggi dengan audio sulih suara dan grafik yang disesuaikan.

Sebagian besar dari program-program ini membantu memfasilitasi pelayanan gereja lokal. Namun, ada juga yang lebih bermasalah.

Staf gereja dapat menggunakan chatbot AI untuk menghasilkan konten untuk korespondensi email dengan pengunjung atau buletin jemaat—seperti ucapan selamat datang setelah seseorang menghadiri kebaktian dan memberikan alamat email. Di sisi lain, beberapa jemaat mungkin akan tersinggung jika pemimpin gereja menggunakan AI generatif untuk membuat pesan pribadi, terutama jika pesan tersebut mengenai hal-hal yang sensitif.

Pendeta atau anggota staf dapat menggunakan ChatGPT untuk membuat ilustrasi khotbah atau keseluruhan khotbah berdasarkan ayat-ayat Alkitab yang menekankan tema-tema tertentu. Akan tetapi, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang plagiarisme, keaslian, proses kreatif pengembangan khotbah, dan bahkan sifat khotbah itu sendiri. Seperti yang dikatakan Russell Moore, “Sebuah chatbot dapat meneliti. Sebuah chatbot bisa menulis. Mungkin chatbot bahkan bisa berpidato, tetapi chatbot tidak bisa berkhotbah.”

Mengapa Pendidik Tidak Perlu Khawatir dengan AI: Aplikasi AI seperti ChatGPT adalah panggilan untuk mendefinisikan kembali sifat holistik pendidikan.

KEVIN BROWN

Ada juga beberapa potensi penipuan yang harus diwaspadai oleh para pemimpin gereja dan harus diperingatkan kepada jemaat mereka.

Sebagai contoh, seorang penipu dapat mengakses konten audio dari layanan ibadah streaming langsung atau khotbah yang diposting secara online dan mengunggah contoh audio ke dalam aplikasi AI generatif (seperti Murf, Speechify, atau Resemble AI), yang mempelajari nada, irama, dan infleksi suara pendeta. Tindakan ini dikenal dengan istilah ‘kloning suara’. Penipu tersebut kemudian dapat membuat audio yang terdengar seperti pendeta atau pemimpin gereja yang meminta uang dan menggunakannya untuk menelepon jemaat yang tidak menaruh curiga.

Beberapa kekhawatiran yang lebih dalam tentang AI generatif adalah bahwa hal itu akan menyebabkan masalah besar melalui “deepfakes” atau gambar dan video palsu dari tokoh-tokoh publik. Para penipu yang ingin mencelakakan para pemimpin gereja dapat membuat mereka tampak mengatakan atau melakukan hal-hal yang membahayakan moral. Atau masalah yang sebaliknya juga mungkin terjadi—para pemimpin gereja dapat terlibat dalam kegiatan yang membahayakan moral dan mengklaim bahwa bukti-bukti tersebut adalah palsu.

Kekhawatiran tentang pergeseran tenaga kerja besar-besaran yang dipicu oleh AI generatif juga muncul. AI generatif menimbulkan krisis eksistensial untuk bidang-bidang seperti jurnalisme, desain grafis, dan bahkan hukum karena aplikasi AI dapat dengan mudah membuat ringkasan hukum dan putusan pengadilan. Pekerjaan-pekerjaan tersebut, yang dulunya kebal terhadap teknologi, suatu hari nanti dapat digantikan oleh AI. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan di antara umat Anda tentang masa depan karier mereka.

Oleh karena itu, para pendeta dan pemimpin gereja harus menghindari sikap ekstrem ketika terlibat dengan komunitas mereka dalam topik ini. Menjauhi semua bentuk AI di gereja secara terbuka merupakan hal yang bermasalah, terutama karena banyak orang yang mungkin telah menggunakan teknologi ini tanpa disadari.

Sebaliknya, para pemimpin gereja harus menghindari penggunaan AI secara sembunyi-sembunyi: Jika Anda tidak mau memberi tahu jemaat Anda bahwa sesuatu dibuat dengan menggunakan ChatGPT, maka jangan menggunakannya. Tindakan terbaik adalah mendorong percakapan yang proaktif dan transparan di dalam jemaat Anda tentang etika penggunaan AI generatif.

Jangan Percaya pada ChatGPT, untuk Saat Ini

Tanya jawab dengan veteran pengelola dan wirausahawan AI, Tom Kehler, tentang batasan chatbot yang populer dan keajaiban otak manusia.

WAWANCARA OLEH EMILY BELZ

Para pendeta juga dapat menawarkan kepada jemaat mereka beberapa konteks historis untuk mengatasi beberapa kekhawatiran kontemporer tentang teknologi yang sedang berkembang ini.

Teknologi baru selalu menjadi sumber ketakutan, dan terkadang lebih dari itu bagi orang Kristen. Pada abad ke-15 dan ke-16, misalnya, mesin cetak merupakan teknologi yang mengganggu secara budaya yang pada awalnya ditakuti dan ditolak oleh banyak orang di dalam gereja, tetapi memiliki dampak yang luar biasa bagi kekristenan global. Beberapa orang berpendapat bahwa aplikasi perangkat lunak Alkitab di era digital memiliki pengaruh yang sama terhadap cara kita membaca Alkitab saat ini.

Saya berpendapat bahwa kepanikan jangka pendek seputar AI generatif (meskipun tidak semua AI) adalah sesuatu yang berlebihan. Akan tetapi, akan ada banyak implikasi etis yang harus diatasi dalam jangka panjang.

Menurut teori media Marshall McLuhan, empat hukum media, pendekatan yang seimbang terhadap media teknologi baru melibatkan pertimbangan empat pertanyaan kunci: Fungsi manusia apa yang akan ditingkatkan oleh teknologi ini? Apa yang dapat dibuat usang? Apa yang dapat diambil dari masa lalu? Dan jika didorong hingga batasnya, bagaimana teknologi baru ini dapat membalikkan kemajuan sebelumnya? Keempat lensa ini dapat membantu ketika memikirkan dampak potensial dari AI generatif yang berkaitan dengan gereja.

Sisi positifnya, pembuatan konten yang dilakukan untuk melayani Injil — yang telah dilakukan umat Kristiani selama beberapa generasi—dapat ditingkatkan secara luas oleh AI generatif. Demikian pula, gereja memiliki sejarah panjang dalam mengandalkan para ahli dan pemikir. Dan dalam beberapa hal, AI mengambil pola historis ini dengan berfungsi sebagai ahli dalam melayani gereja.

Namun, pekerjaan komposisi dan desain — sesuatu yang telah dilakukan gereja selama ribuan tahun—bisa menjadi usang oleh teknologi baru ini. Dan, beberapa orang khawatir bahwa jika AI didorong hingga ke batasnya, ia memiliki potensi untuk melakukan semua pemikiran kita sehingga dapat membalikkan kemajuan pengetahuan manusia, yang mengakibatkan membuat dunia dan gereja menjadi kurang manusiawi.

Apa pun itu, tidak akan lama lagi teknologi AI generatif akan menjadi latar belakang kehidupan gereja kita — yang menjadi alasan mengapa penting untuk mempelajari cara menggunakannya secara bijak alih-alih mencoba menghindarinya sama sekali. (t/Jing-jing)

Diambil dari:
Nama situs: Christianity Today
Alamat artikel: https://www.christianitytoday.com/ct/2023/june-web-only/ai-artificial-intelligence-risk-threat-warn-church-pastor.html
Judul asli artikel: Pastors: Lead Not Your Church into Fear of AI
Penulis artikel: A. TREVOR SUTTON