Rise of the Machines: Buku Baru yang Menerapkan Etika Kristen bagi Masa Depan AI

Pernah dipandang sebagai intisari fiksi ilmiah, kecerdasan buatan (AI) pelan tapi pasti terus masuk di kehidupan kita sehari-hari — dari umpan media sosial hingga asisten digital seperti Siri dan Alexa. Betapapun bermanfaatnya AI untuk banyak aspek kehidupan kita, itu juga menimbulkan sejumlah pertanyaan moral dan spiritual yang menantang. Pengenalan wajah dapat digunakan untuk menemukan buronan penjahat, tetapi juga untuk menekan pembangkang politik. Berbagai aplikasi dan platform dapat mengantisipasi preferensi kita, tetapi juga memanen data yang menyerang privasi kita. Teknologi dapat mempercepat penyembuhan, tetapi banyak yang berharap menggunakannya untuk meningkatkan kemampuan alami manusia atau menghilangkan emosi yang “tidak diinginkan”.

Dalam buku terbarunya 2084: Artificial Intelligence and the Future of Humanity [2084: Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Umat Manusia], profesor emeritus Oxford John Lennox mensurvei lanskap AI saat ini dan masa depan, serta membahas masalah ini dan masalah terkait. Lennox adalah seorang ahli matematika yang telah berbicara secara internasional tentang filosofi sains, menulis buku yang membahas batas-batas sains, dan memperdebatkan ateis terkenal Richard Dawkins dan Christopher Hitchens. Dalam buku barunya, ia mengakui banyak manfaat yang dapat ditawarkan AI. Namun, ia juga mengkritik pandangan dunia yang ada di balik banyak visi sekuler AI yang berupaya mengubah manusia menjadi dewa dan menciptakan utopia melalui teknologi.

Christopher Reese berbicara dengan Lennox tentang bukunya dan bahwa orang Kristen harus mempertimbangkan sejumlah masalah yang berkaitan dengan teknologi yang berakselerasi dengan cepat ini, termasuk “memajukan” manusia, entahkah komputer menjadi berkesadaran, atau pun orang Kristen harus menimbang pro dan kontra AI.

Banyak skenario negatif yang melibatkan AI telah diputar di film-film populer. Menurut Anda, apakah hasil seperti ini harus kita perhatikan?

Kita belum mendekati skenario negatif ini menurut pendapat para pemikir top di bidang ini. Akan tetapi, ada cukup banyak hal yang terjadi dalam kecerdasan buatan yang benar-benar berfungsi saat ini untuk memberi kita perhatian etis yang besar.

Ada dua rangkaian utama dalam kecerdasan buatan. Ada AI sempit, yang sangat sukses di area tertentu, tetapi menimbulkan masalah mendalam di area lain. Ini hanyalah komputer berkekuatan besar yang menjalankan database besar dan memiliki algoritma terprogram untuk mencari pola tertentu. Misalkan, kita memiliki database sejuta rontgen penyakit paru-paru yang diberi label oleh dokter terbaik di dunia. Kemudian, Anda mendapatkan rontgen di rumah sakit setempat dan algoritma membandingkan milik Anda dengan database hanya dalam beberapa detik, lalu muncul dengan diagnosis. Jadi, itu hal yang sangat positif.

Akan tetapi, kemudian Anda beralih ke hal-hal yang lebih dipertanyakan — belakangan ini paling sering berkaitan dengan pengenalan wajah. Sekali lagi, Anda memiliki basis data besar berisi jutaan foto wajah yang diberi label nama dan segala jenis informasi. Anda dapat segera melihat bahwa pasukan polisi akan mendapati bahwa itu berguna dalam memeriksa teroris dan penjahat. Namun, itu bisa digunakan untuk menekan orang dan memanipulasi, serta mengendalikan mereka. Di Cina saat ini, ada banyak bukti tentang teknik pengawasan ekstrem yang digunakan untuk menaklukkan minoritas Uyghur. Hal itu telah menimbulkan pertanyaan etis di seluruh dunia.

Ini bukan Big Brother 1984. Kita sudah ada di sana. Namun, ini bukan tahun 2084. Di situlah rangkaian kedua masuk: Kecerdasan buatan adalah tempat kita mengembangkan kecerdasan super yang mengendalikan dunia. Itu adalah intisari fiksi ilmiah.

C.S. Lewis khawatir bahwa kemajuan teknologi dapat mengarah pada “pemusnahan manusia”. Bisakah Anda menjelaskan apa yang ia maksud dengan itu?

Salah satu alasan saya menulis buku itu adalah karena keakraban saya dengan C.S. Lewis . Pada tahun 1940-an, ia menulis dua buku, The Abolition of Man dan That Hideous Strength, yang merupakan buku fiksi ilmiah. Kekhawatirannya adalah jika manusia berhasil melakukan hal semacam ini, hasilnya tidak akan manusiawi sama sekali. Ini akan menjadi penemuan.

Jika Anda mulai bermain-main dengan manusia sebagaimana adanya dan memperkenalkan rekayasa genetika, yang terjadi adalah Anda membuat temuan — yaitu, sesuatu yang Anda buat yang tidak lebih besar dari manusia, tetapi lebih rendah dari manusia. Dengan kata lain, Anda memusnahkan manusia dalam pengertian itu. Anda membuat sesuatu yang menurut Anda lebih dari manusia, tetapi sebenarnya kurang dari manusia karena Anda, yang bukan Allah, telah berkontribusi pada spesifikasinya. Lewis dengan demikian berbicara bahwa “kemenangan” terakhir umat manusia akan menjadi pemusnahan manusia. Saya pikir itu harus menjadi perhatian kita.

Alkitab menegaskan bahwa manusia memiliki jiwa dan diciptakan menurut gambar Allah. Bagaimana ide-ide tersebut memengaruhi pandangan Anda tentang mesin dan kemampuannya (atau ketidakmampuannya) untuk meniru manusia?

Kita diciptakan menurut gambar Allah. Ini memberi kita martabat dan nilai. Beberapa aspek pengawasan tampaknya melanggar itu. Tampaknya itu merupakan pelanggaran privasi, ruang yang Allah berikan kepada kita untuk berfungsi. Tentu saja, ketika itu adalah tentang mengendalikan orang dan membuat mereka tidak bertindak berdasarkan hati nurani mereka, tetapi untuk melakukan sesuatu yang diminta oleh keadaan dan bisa menjadi jalan yang sangat berbahaya. Kita sudah melihatnya, seperti yang telah saya sebutkan.

Namun, tentu saja, begitu kita mulai berbicara tentang kecerdasan buatan, ada dua alur lagi. Yang pertama adalah merekayasa manusia yang ada dan mengubahnya menjadi allah. Sejarawan Israel Yuval Noah Harari telah menulis sebuah buku berjudul Homo Deus, yang artinya — manusia yang adalah Allah.- Ia dengan sangat lugas mengatakan bahwa ada dua agenda besar di abad ke-21. Salah satunya adalah menyelesaikan masalah kematian sebagai masalah fisik, artinya pengobatan akan sangat maju sedemikian rupa sehingga Anda tidak perlu mati. Anda bisa mati, tetapi Anda tidak perlu melakukannya.

Kedua adalah merekayasa kehidupan manusia untuk memajukannya melalui teknologi, obat-obatan, dan hal-hal lain sehingga kita menciptakan kecerdasan manusia super. Dari situlah semua skenario distopia (=tempat khayalan, di mana segala sesuatu yang terjadi sangat buruk atau tidak menyenangkan, Red.) berasal, dan itu memicu film-film seperti The Matrix dan seterusnya. Mereka menakutkan karena kita berpotensi mengubah sesuatu yang artinya menjadi manusia secara permanen.

Manusia, “versi 1.0” yang diciptakan oleh Allah, pada dasarnya adalah istimewa. Keistimewaan manusia terlihat pada kenyataan bahwa Allah menjadi manusia. Firman menjadi manusia, menjadi daging, dan tinggal di antara kita. Saya menganggapnya sangat serius. Karena itu, setiap upaya untuk membuat “manusia 2.0” akan menjadi langkah menjauh dari rancangan Allah, bukan langkah menuju Allah.

Apakah menurut Anda salah dalam kerangka Kristen untuk berusaha meningkatkan kemampuan kita atau apakah itu diperbolehkan?

Saya telah meningkatkan penglihatan karena saya memakai kacamata. Saat ini, teknologinya ada di hidung dan telinga saya. Ini sangat kasar, tetapi saya bisa memakai lensa kontak, yang mungkin tidak Anda perhatikan. Peningkatan semacam itu adalah hal yang sangat baik karena hanya membantu kekurangan penglihatan saya sendiri, seperti alat bantu dengar atau kaki palsu. Jadi, diperbolehkan untuk memperkuat anggota tubuh, mendapatkan penglihatan yang lebih baik, dan tentu saja mengatasi ketidakseimbangan kimiawi dalam darah, otak, dan sistem kita. Kita sangat berterima kasih untuk adanya obat-obatan.

Akan tetapi, untuk memperjelas, ada batasan yang cukup eksplisit di mana kita mulai melanggar dan secara efektif mengatakan, -Ya Allah, Engkau telah melakukan yang terbaik, tetapi kami dapat melakukan yang lebih baik. Kami dapat memajukan manusia.- Itu usaha yang sangat berisiko. Salah satu bahaya utamanya adalah menjadi Allah dengan memodifikasi jaringan yang berasal dari sel-sel reproduksi genetik, yang dapat memengaruhi semua generasi untuk mengikuti kita.

Apa perspektif Anda tentang sesuatu yang disebut “masalah kesadaran yang sulit?” Bisakah mesin menjadi berkesadaran?

Inilah masalahnya: Tidak ada yang tahu makna dari kesadaran, apalagi cara membangunnya. Jika Anda akan membuat kecerdasan buatan secara umum, Anda harus menghasilkan kesadaran. Jadi, argumen-argumen tersebut masih di awang-awang. Ketika orang berkata kepada saya, “Apa pendapat Anda tentang itu semua?” Saya katakan jika Anda pertama-tama dapat memberi tahu saya arti dari kesadaran, saya akan mendengarkan Anda dengan cukup serius.

Tentu saja, dari sudut pandang Kristiani, otak adalah benda fisik, sedangkan pikiran tidak. Kita telah melihat era informasi di mana kita menyadari bahwa informasi, yang merupakan entitas non-materi, telah menjadi dasar fisika dan pemahaman kita tentang alam semesta. Itu persis sesuai dengan Kitab Suci, yang memberitahu kita pada mulanya adalah Firman. Bukan pada mulanya adalah alam semesta. Alam semesta adalah turunannya. Segala sesuatu menjadi ada melalui Firman. Jadi, Allah Firman adalah yang utama. Alam semesta adalah turunannya. Sementara itu, ateisme meyakini kebalikannya, yaitu bahwa alam semesta adalah yang utama dan pikiran adalah turunannya.

Anda mengamati bahwa sains menggantikan agama bagi beberapa pendukung AI, yang memandang teknologi sebagai sarana keselamatan. Bagaimana Anda melihat sains berfungsi bagi mereka secara religius?

Jika Anda mengingkari Allah sebagai pencipta, Anda tidak menyingkirkan ide penciptaan karena Anda harus menjelaskan kehidupan, khususnya kehidupan dan kesadaran manusia. Jadi, Anda sering menambahkan material partikel elementer dengan kekuatan kreatif—yang tidak ada bukti bahwa mereka memilikinya—sehingga material alam semesta harus, dalam arti tertentu, menciptakan kehidupan dan menciptakan dirinya sendiri, yang merupakan omong kosong filosofis.

Saya telah menggunakan sebagian besar waktu dalam hidup saya berusaha membongkar hal-hal ini sehingga orang dapat memahami betapa gilanya beberapa hal ini. Akan tetapi, itulah hasil dari menolak pencipta. Paulus menjelaskannya dengan baik pada awal surat Roma. Ia berkata bahwa menolak pencipta berarti Anda menjadi gelap secara intelektual dan Anda mulai berbicara omong kosong. Ada banyak ide bodoh seputar hal itu, tetapi karena dikatakan oleh para ilmuwan yang berpengaruh besar, orang menganggapnya serius. Mereka tidak ingat sesuatu yang pernah dikatakan dengan cerdas oleh salah satu ilmuwan kita yang paling terkenal, Richard Feynman, pemenang Hadiah Nobel fisika: -Di luar bidangnya,- katanya, -ilmuwan itu sama bodohnya dengan orang di dekatnya. –

Anda menulis tentang kemungkinan hubungan antara AI dan peristiwa yang dijelaskan dalam nubuatan alkitabiah. Bagaimana Anda melihat hal-hal itu mungkin berkaitan?

Yah, saya sangat berhati-hati di sini. Selalu ada skeptisisme yang besar ketika Anda menyebutkan skenario alkitabiah tentang masa depan. Namun, bagi saya, intinya adalah ini: Jika kita siap untuk menganggap serius, seperti kebanyakan orang, situasi yang sangat distopia pada masa depan di mana Anda memiliki seorang diktator dunia yang mengendalikan ekonomi dengan memasang semacam implan di kulit orang atau di mata mereka atau sesuatu seperti itu—mengapa kita tidak kembali ke skenario yang disajikan, setidaknya secara garis besar, di dalam Alkitab dan membandingkannya dengan skenario ini? Unsur-unsur tertentu memiliki sangat banyak kesamaan. Idenya adalah sesuatu yang bukan hanya literatur apokaliptik dari kitab Wahyu, tetapi tulisan teologis yang lugas, seperti dalam surat Paulus kepada jemaat di Tesalonika.

Bagaimana seharusnya orang Kristen menimbang potensi manfaat AI dengan kemungkinan—dan yang sebenarnya—tentang penyalahgunaannya?

Nah, saya akan menjawab dengan mengatakan, bagaimana menimbang manfaat pisau yang sangat tajam? Pisau yang sangat tajam dapat digunakan untuk melakukan pembedahan dan menyelamatkan nyawa orang. Akan tetapi, itu juga bisa digunakan untuk pembunuhan.

Apa yang saya lakukan dengan teman-teman Kristen saya adalah, jika mereka cenderung ilmiah, saya berkata: TI atau teknologi komputer adalah bidang yang menarik untuk ditekuni, dan ada begitu banyak hal baik yang dapat dilakukan. Salah satu contoh bagusnya adalah di MIT di mana Rosalind Picard, seorang ilmuwan brilian, seorang Kristen, yang telah mengembangkan bidangnya sendiri yang disebut komputasi afektif. Ia menggunakan teknik pengenalan wajah untuk menemukan tanda-tanda dari anak-anak yang mengalami kejang sebelum terjadi dan cara mencegahnya.

Akan tetapi, setiap penemuan teknologi memiliki potensi kebaikan dan kejahatan. Masalahnya bukanlah bahwa seseorang menolak kemajuan, tetapi seseorang belajar untuk mengendalikan kemajuan itu dan mengaturnya ke dalam kerangka etis. Masalahnya hari ini adalah bahwa teknologi melampaui etika dengan kecepatan yang luar biasa. Orang tidak punya waktu untuk berpikir.

Beberapa orang khawatir tentang hal yang terjadi dan mereka mencoba menetapkan dewan internasional dan ide prinsip etika dasar yang perlu dibangun ke dalam AI. Semua itu baik dan bagus, tetapi kita berurusan di tingkat internasional. Tergantung pihak yang paling berkuasa. Jika orang tidak memiliki prinsip-prinsip etika normatif yang transenden, seperti yang diberikan agama Kristen kepada kita, tentu saja kekuasaanlah yang akan menentukan hal yang diyakini.

Orang Kristen harus dapat duduk dengan percaya diri di meja bersama dengan rekan-rekan non-Kristen mereka, mendiskusikan hal-hal ini dengan akal sehat, dan membantu orang lain memikirkan masalah etika.

(t/Jing-jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Christianitytoday.com
Alamat situs: https://www.christianitytoday.com/ct/2020/september-web-only/john-lennox-2084-ethics-artificial-intelligence.html
Judul asli artikel: Rise of the Machines: New Book Applies Christian Ethics to the Future of AI
Penulis artikel: CHRISTOPHER REESE