
Apa hubungan Doa dengan Kecerdasan Buatan?
2025-01-22 14:03:00
Dalam sebuah percakapan baru-baru ini tentang Kecerdasan Buatan (AI) di tempat pelayanan, seseorang mengajukan pertanyaan tentang signifikansi teologis dari pengalihdayaan kapasitas manusia yang mendasar seperti berpikir kritis kepada aplikasi komputer seperti ChatGPT. Kekhawatiran dasarnya adalah, dengan meminta ChatGPT untuk melakukan sebagian dari pemikiran kita, kita perlahan-lahan akan kehilangan sesuatu yang esensial dan yang diberikan oleh Allah: kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam dan reflektif tentang suatu topik untuk mencapai pemahaman dan wawasan baru.
Ini adalah kekhawatiran yang wajar. Namun, yang membuat saya sadar adalah betapa seringnya kita gagal mengatur kapasitas untuk berpikir secara mendalam dan reflektif dalam "urutan yang benar". Thomas Aquinas mengajarkan bahwa segala sesuatu, jika diatur dengan benar, akan mengarahkan kita kepada Allah. Apa yang dia maksudkan dengan hal ini pada dasarnya adalah bahwa motivasi utama dari apa yang kita lakukan adalah untuk mengenal dan mengasihi Allah. Ketika kita menjadikan sesuatu yang bukan Allah sebagai motivasi utama kita, kita tidak menata keinginan atau niat kita dengan benar dan telah membuat berhala yang kita cari sebagai pengganti Allah.
Izinkan saya memberikan contoh praktis untuk membantu mengilustrasikan apa yang dimaksud dengan hal ini. Tidak jarang orang tua mendorong anak-anak mereka untuk belajar menjadi dokter. Mereka mencoba memotivasi anak-anak mereka untuk menjalani tahun-tahun belajar yang melelahkan yang diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai seorang dokter dengan menunjukkan janji stabilitas pekerjaan, pendapatan yang besar, dan prestise sosial. Meskipun tidak ada yang salah dengan keinginan untuk memiliki semua hal tersebut, motivasi yang lebih kristiani untuk menjadi seorang dokter adalah karena Anda ingin menggunakan karunia intelektual dan fisik Anda untuk melayani orang lain, di mana pelayanan ini merupakan ungkapan kasih Anda kepada Allah dan ciptaan Allah.
Apa relevansi dari semua ini dengan kapasitas kita untuk berpikir kritis dan reflektif? Saya merasa bahwa, dalam beberapa generasi terakhir, kita telah mengkomodifikasi kapasitas ini. Kita telah menjadikannya sebagai berhala. Kita berbicara tentang berpikir kritis seolah-olah itu adalah cara untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, menjadi produktif, dan menghasilkan uang. Dalam konteks ini, menggunakan AI hampir tampak seperti cara curang untuk maju.
Namun, bagaimana jika masalahnya adalah bahwa kita belum menempatkan kapasitas untuk berpikir secara mendalam dan reflektif ini dalam "urutan yang benar"? Bagaimana jika fungsi utamanya bukan untuk membuat kita sukses? Salah satu hal yang kita pelajari dari orang-orang kudus adalah bahwa kehidupan doa kita bergantung pada bagaimana kita menggunakan kapasitas ini. Dalam doa, kita berpikir secara mendalam dan reflektif tentang siapa Allah, siapa diri kita, dan bagaimana kita dipanggil untuk merespons Injil dalam situasi konkret dalam hidup kita. Dengan kata lain, kemampuan kita untuk berpikir kritis dimaksudkan untuk membantu kita mengenal dan mengasihi Allah dengan cara yang lebih mendalam. Oleh karena itu, dalam doa, kita harus terlebih dahulu dan paling sering terlibat dalam refleksi kritis.
Jika Allah menganugerahi kita dengan kemampuan untuk berpikir secara mendalam dan reflektif sehingga kita dapat mengenal dan mengasihi-Nya, lalu apa gunanya melenturkan otot metaforis ini dalam keadaan lain, seperti di sekolah atau di tempat kerja? Sederhananya, kita melakukannya agar kehidupan doa kita, kehidupan kita dengan Allah, menjadi lebih baik. Bukan supaya kita bisa sukses atau membuat orang lain berpikir bahwa kita pintar. Sebuah contoh dari dunia olahraga dapat membantu kita memahami hal ini. Para atlet tidak hanya berlatih olahraga tertentu, mereka juga melakukan latihan silang, menguji kekuatan, stamina, dan refleks mereka dalam berbagai situasi. Mereka tidak melakukan ini untuk pamer. Mereka melakukan latihan silang untuk meningkatkan performa atletik mereka saat dibutuhkan.
Bagi orang Kristen, doa adalah "saat yang tepat". Kemunculan teknologi seperti ChatGPT seharusnya memotivasi kita semua untuk melipatgandakan praktik doa kita. Demikian juga, para pemimpin dan pendeta di Gereja harus membantu orang-orang untuk belajar berdoa. Ketika kita telah menetapkan kapasitas kita untuk berpikir secara mendalam dan reflektif dalam "urutan yang benar", kita akan lebih mampu untuk membedakan bagaimana dan kapan menggunakan sesuatu seperti ChatGPT secara paling efektif dan untuk kemuliaan Allah yang lebih besar. Dan hal itu akan melatih pemikiran kritis kita.
(t/Jing-jing)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Inland Catholic Byte |
Alamat artikel | : | https://www.icbyte.org/index.php/perspectives/faith-science/3346-what-does-prayer-have-to-do-with-artificial-intelligence |
Judul asli artikel | : | What does Prayer have to do with Artificial Intelligence? |
Penulis artikel | : | Amanda Alexander |
Copyright © 2023 - Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). All Rights Reserved