Artikel ini berargumen bahwa institusi pendidikan Kristen harus melihat AI sebagai alat yang ampuh yang dapat meningkatkan dan memperkaya pengalaman belajar. Alih-alih melarang penggunaan AI dalam tugas-tugas penulisan, institusi pendidikan tinggi harus mengajarkan kepada para mahasiswa bagaimana menggunakan alat ini secara efektif dan etis. Hal ini membutuhkan literasi inti yang baru dan penting bagi mahasiswa dan fakultas: Literasi AI -- kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan terlibat secara efektif dengan teknologi AI. Selain itu, artikel ini menekankan perlunya lembaga-lembaga Kristen untuk mengambil peran kepemimpinan dalam menangani pertimbangan etis yang berkaitan dengan adopsi AI, dengan menawarkan panduan tentang isu-isu moral yang mendasar dan memprioritaskan pendidikan para siswa mereka tentang penggunaan AI secara etis dari sudut pandang Kristen. Terakhir, artikel ini menyerukan pembentukan lembaga-lembaga AI, pembentukan koalisi AI yang etis, dan berbagi data, penelitian, dan sumber daya di antara lembaga-lembaga tersebut untuk memastikan pengembangan model-model AI yang tidak bias dan bermoral di masa depan.

Bagian Satu: Kecerdasan Buatan di Ruang Kelas

Ars Est Celare

Artem Peluncuran model kecerdasan buatan (AI) gratis dan mudah digunakan yang mampu menghasilkan konten orisinal (AI generatif) telah menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan terkait potensi dampaknya terhadap dunia pendidikan. Ketakutan ini telah mengemuka dalam wacana publik dengan dirilisnya ChatGPT dari OpenAI baru-baru ini pada tanggal 30 November 2022 (OpenAI, 2022).

Seperti halnya banyak teknologi baru, aplikasi AI generatif seperti ChatGPT telah memicu histeria yang dapat diprediksi. Beberapa orang yang pesimis percaya bahwa alat-alat ini akan menyebabkan keruntuhan pendidikan (Weissman, 2023), pengangguran besar-besaran (Mok & Zinkula, 2023), serta kebingungan dan manipulasi publik yang membutuhkan regulasi pemerintah (Grady, 2023). Beberapa di antaranya bahkan mengklaim bahwa model-model AI ini telah mencapai kesadaran diri dan merasa sedih karena hal itu (De Cosmo, 2022; D'Agostino, 2023; Roach, 2023).

Meskipun lembaga pendidikan Kristen (yang memprioritaskan perkembangan formatif siswa, yang meliputi roh, pikiran, dan tubuh) akan selalu memiliki relevansi yang penting bagi masyarakat (Brown, 2022; Paige, 2023), ChatGPT menyebabkan disrupsi di dunia pendidikan karena banyak staf pengajar yang mengkhawatirkan para siswa yang menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas menulis mereka. Hal ini karena teks yang dihasilkan oleh AI merupakan hal baru dan sulit untuk dideteksi. Salah satu respons keras terhadap hal ini adalah melarang penggunaannya sepenuhnya (Elsen-Rooney, 2023; Jimenez, 2023). Yang lain telah memperbarui kebijakan integritas mereka (Levin, 2023) atau merancang cara untuk membuat tugas tradisional menjadi anti AI (Klein, 2023) -- sesuatu yang tampaknya cukup sulit. Namun, tanggapan-tanggapan ini salah arah.

Magistri et Discipuli

Era yang hanya mengandalkan kekuatan dalam kemampuan menulis untuk menghasilkan karya tulis berkualitas tinggi telah berakhir. Dan sebagai hasilnya, kita harus menyesuaikan pendekatan kita terhadap pendidikan. Sudah saatnya kita mengubah perspektif kita dari memandang AI sebagai ancaman, dan melihatnya sebagai alat yang ampuh yang dapat meningkatkan dan memperkaya pengalaman belajar. Alih-alih melarang siswa menggunakan AI untuk membantu mereka membuat karya tulis, kita harus mengajari mereka cara menggunakan alat bantu ini secara efektif dan efisien. Dengan merangkul potensi AI dalam pendidikan, kita memiliki kesempatan untuk membekali murid-murid kita dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memenuhi tujuan hidup mereka. Sebagai pendidik Kristen, ini adalah panggilan yang harus kita jawab (Villasenor, 2023); tetapi, ini bukan hanya tentang kemahiran teknis. Sama pentingnya untuk membekali siswa dengan pemahaman tentang pertimbangan etis saat menggunakan AI, seperti menghindari bias dan mempromosikan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Hal ini tidak hanya akan menghasilkan para profesional yang sangat terampil, tetapi juga para pemimpin yang bertanggung jawab (Lang, 2023).

Oleh karena itu, kita membutuhkan literasi inti yang penting bagi mahasiswa dan dosen: Literasi AI -- kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan terlibat secara efektif dengan teknologi AI. Dengan menumbuhkan literasi AI, kita dapat membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk mengevaluasi dan menganalisis informasi yang disajikan kepada mereka oleh alat AI sekaligus mengenali bias atau keterbatasan yang mungkin melekat pada algoritma yang mendasarinya (Mock, 2023). Hal ini akan memungkinkan siswa untuk membuat keputusan yang tepat, menantang asumsi, dan mengembangkan ide-ide mereka sendiri, bahkan dalam menghadapi teknologi baru yang mungkin terlihat lebih cerdas daripada mereka.

Bagian Dua: Kampus yang Cerdas

Alea Iacta Est

Keputusan telah diambil dan dampak AI terhadap pendidikan tinggi akan sangat besar, merevolusi operasi di setiap tingkat, mulai dari ruang rapat hingga ruang kelas. Perputaran yang cepat dan tindakan yang cepat sangat penting. Karena segala sesuatunya bergerak dengan cepat, menunda-nunda bisa berarti ketertinggalan.

Integrasi alat berbasis AI yang transformatif di institusi akademik dapat memberikan banyak manfaat langsung. Alokasi bantuan keuangan dapat dioptimalkan melalui AI untuk meningkatkan tingkat retensi, sementara algoritma yang didukung AI dapat digunakan dalam pemasaran, kampanye rekrutmen, penggalangan dana, dan keterlibatan alumni. Selain itu, AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi mahasiswa yang berisiko dan secara otomatis memperingatkan fakultas dan penasihat ketika seorang mahasiswa terancam putus kuliah. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan layanan kesehatan dan kebugaran mahasiswa untuk mendukung mereka yang menghadapi stres, kecemasan, dan tantangan pribadi lainnya. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, universitas dapat membangun kampus yang cerdas dan berkembang (Kravitz, 2023, 27:54).

Akan tetapi, untuk benar-benar memanfaatkan potensi AI, universitas harus merangkul kemampuannya yang belum pernah ada sebelumnya yang sudah jauh melampaui kemampuan manusia. Institusi harus mengadopsi pola pikir yang berpikiran maju yang memanfaatkan kemampuan AI untuk tidak hanya meningkatkan kemampuan manusia, tetapi juga melampauinya, daripada sekadar menggantikannya melalui otomatisasi (Brynjolfsson, 2022).

Lembaga-lembaga Kristen Non Ducor dan Duco memiliki kesempatan untuk memimpin dalam menangani pertimbangan etis yang terkait dengan adopsi AI. Para pemikir Kristen dapat memainkan peran penting dalam memberikan panduan mengenai isu-isu moral yang mendasar, termasuk prinsip-prinsip etika yang harus dimasukkan ke dalam sistem AI (Brown, 2022; Paige, 2023). Lembaga-lembaga Kristen harus membuat lembaga AI, membentuk koalisi AI yang etis, dan merangkul teknologi transformatif ini dengan menjadi pemimpin dengan berbagi data, penelitian, dan sumber daya satu sama lain. Selain itu, mereka harus memprioritaskan untuk mendidik mahasiswa mereka tentang penggunaan AI yang etis dari sudut pandang Kristen dan mendorong para lulusannya untuk bekerja di industri AI. Hal ini akan membantu memastikan pengembangan model AI yang tidak bias dan bermoral di masa depan.

Tanpa mengemban tanggung jawab kepemimpinan, ada bahaya nyata bahwa AI dapat menjadi tertanam dengan bias berbasis teori kritis yang sama yang sudah lazim di masyarakat kita dan mengakar di banyak lembaga sekuler. Presiden Biden baru-baru ini menandatangani perintah eksekutif yang "mengarahkan lembaga-lembaga untuk memastikan bahwa penggunaan kecerdasan buatan dan sistem otomatis mereka juga memajukan kesetaraan" (Hall, 2023). Akan sangat tragis untuk menyaksikan AI -- sebuah teknologi dengan potensi besar untuk mengubah dunia menjadi lebih baik -- dikorbankan di atas altar ideologi. Dalam skenario terburuk, AI dapat menjadi platform untuk filosofi anti-Kristen, yang di dalamnya ide-ide Kristen tertentu disensor, dan yang lainnya diklasifikasikan sebagai kejahatan pemikiran.

Oleh karena itu, institusi Kristen harus mengembangkan pemahaman yang kuat tentang AI baik dalam keahlian teknis maupun pengetahuan domain. Hal ini membutuhkan pengembangan budaya inovasi dan kolaborasi di seluruh departemen, terutama di antara para dosen. Semangat bereksperimen, belajar, dan berkolaborasi sangat penting untuk mengembangkan dan mengimplementasikan solusi dan ide baru. Masa depan pendidikan tinggi Kristen bergantung pada bagaimana institusi memilih untuk melakukan pendekatan terhadap integrasi AI, dan potensi manfaatnya sangat besar bagi mereka yang memimpin. (t/Jing-jing)

Diambil dari:
Nama situs : Digitalshowcase
Alamat artikel : https://digitalshowcase.oru.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1105&context=sotl_ched
Judul asli artikel : The Impact of AI on Christian Higher Education: A Call to Lead
Penulis artikel : Andrew S.I.D. Lang