
Kecerdasan Buatan, Puisi, dan Doa
2025-01-22 14:05:00
Putra tengah kami menjelaskan bagaimana kecerdasan buatan dapat membantunya bekerja sebagai perawat: "Saya dapat meminta AI untuk menyusun rencana diet, olahraga, dan kesehatan untuk pasien tertentu, dan AI akan menghasilkan diagnosis lengkap, diet, olahraga, dan rencana gaya hidup sehat secara keseluruhan dalam beberapa detik." Putra sulung kami menjelaskan bagaimana dia menggunakan AI untuk membantu bisnisnya dalam korespondensi asuransi dan keuangan. "Sebuah mesin membuka surat-surat dan memasukkannya ke dalam pemindai yang membaca surat-surat tersebut -- bahkan yang ditulis tangan -- kemudian AI merancang respons yang tepat, mencetak surat tersebut, atau menulis email dan mengirimkannya."
Semua sangat mengagumkan, saya yakin, dan tidak ingin menjadi terlalu Amish atau Luddite tentang hal ini, saya dapat melihat aplikasi praktis dari kecerdasan buatan. Memang, seluruh konsep ini didasarkan pada persepsi tentang realitas yang sepenuhnya bermanfaat. Jika Anda dapat melakukannya dengan lebih cerdas dan lebih cepat dan tanpa kesalahan, Anda akan menghemat waktu dan uang, dan itu harusnya selalu menjadi hal yang baik, bukan?
Ya, mungkin saja, tetapi ada lebih banyak hal di langit dan bumi yang tidak pernah dapat dibayangkan oleh semangat utilitiarianisme. Hal-hal seperti doa, puisi, seni, musik, dan menjadi jiwa yang hidup.
Percakapan dengan anak-anak saya ini terjadi ketika saya merenungkan sebuah esai dari penyair Dana Gioia yang berjudul "Christianity and Poetry". Gioia memaparkan premisnya di halaman pertama: "Kebanyakan orang Kristen salah memahami hubungan puisi dengan iman mereka .... Puisi tidak hanya penting bagi kekristenan. Puisi merupakan aspek yang penting, tak terpisahkan, dan diperlukan dalam iman dan praktik keagamaan." Dia melanjutkan esainya dengan merenungkan signifikansi teologis dari puisi dan menelusuri esensi puisi melalui Kitab Suci sebelum kemudian memberikan ringkasan yang berguna tentang sejarah puisi Kristen dalam bahasa Inggris.
Bab kedua dari Gioia adalah bagian yang paling penting. Di sana dia mengeksplorasi inti puitis dari kekristenan itu sendiri: inkarnasi. Tidaklah salah jika keajaiban inkarnasi dinyatakan oleh puisi pujian Maria, Magnificat. Jika puisi adalah ekspresi metaforis dari kebenaran metafisik, inkarnasi itu sendiri adalah sebuah puisi. Jika Anda mau, Anda dapat menganggap bahwa Kristus adalah puisi Allah bagi umat manusia. Dengan puisi sebagai inti dari kekristenan, dapat dikatakan bahwa kekristenan tanpa puisi bukanlah kekristenan sama sekali, melainkan hanya kumpulan dogma, aturan, peraturan, rubrik, devosi, dan doktrin yang membosankan.
Premis dasar Gioia adalah bahwa puisi adalah seperti doa. Kemampuan puitis terletak di jantung manusia sebagai naluri religius, dan untuk memperluas premisnya, puisi dan doa adalah hal yang membuat manusia unik. Seekor kera bisa diajari bahasa isyarat, tapi ia tidak bisa menulis puisi. Seekor gorila dapat meniru gerak tubuh dan emosi manusia, tapi ia tidak bisa berdoa.
Hal ini membawa saya kembali ke kecerdasan buatan. Seorang teman yang antusias mengatakan kepada saya bahwa AI dapat menulis puisi dan menulis doa. Tidak bisa. Kecerdasan buatan hanya meniru puisi dan doa. Kecerdasan buatan hanya menyalin puisi dan doa. Tidak peduli seberapa mengesankan peniruannya, kecerdasan buatan tetaplah kecerdasan buatan. Ketika kami sedang membangun gereja baru kami, muncul pertanyaan apakah kami harus memiliki organ pipa atau membeli alat musik elektronik yang lebih murah, tetapi sangat bagus. Penjual alat musik elektronik menjelaskan bagaimana mereka telah merekam suara organ pipa asli dan komputer serta sistem audio mereproduksinya untuk meniru organ pipa yang sebenarnya. Penjual dari perusahaan organ pipa itu berkata kepada saya, "Ya, semuanya sangat mengesankan dan tentunya lebih murah, tetapi izinkan saya bertanya: Maukah Anda membelikan tunangan Anda sebuah cincin zirkonium?" Alasan yang sama melarang musik rekaman, bunga plastik, dan reproduksi seni sakral yang murahan di gereja kami. Sudah cukup banyak kepalsuan, penipuan, dan kebodohan dalam agama, jadi dalam hal puisi dan doa, mari kita gunakan kecerdasan yang nyata, bukan yang dibuat-buat.
Bersama dengan buku penting Gioia tentang puisi, dua jilid puisi yang sesungguhnya telah ada di tumpukan 'buku-buku yang harus dibaca dan diulas' selama beberapa minggu. "Mythologies of the Wild of God" adalah kumpulan sajak baru karya Michael Martin. Martin adalah seorang petani, filsuf, ayah, dan musisi. Puisi-puisinya berakar dari kehidupannya di pedesaan, dan dalam kehidupan kita yang semakin artifisial, puisi-puisi ini beresonansi dengan realitas yang menyegarkan. Ini adalah puisi-puisi yang berlumuran darah -- di dalamnya tercium bau nyali dan kemuliaan tanah pertanian -- cacing-cacing di hutan, binatang buas, padang rumput, ternak, perburuan, dan kerja keras. Bayangkan Robert Frost yang disaring melalui Cormac McCarthy.
Di dalam aroma yang bersahaja dari puisi-puisi ini, terdapat seksualitas, sensualitas, dan spiritualitas. Martin sangat Katolik secara fisik dan spiritual, dan puisi-puisinya bergulat dengan maskulinitas, kemanusiaan, dan realitas. Puisi-puisi ini mengejutkan, memberikan wawasan yang menakjubkan, dan mencerahkan dengan perspektif baru. Puisi-puisi ini memadukan puisi dan doa sebagaimana mestinya -- modern, intim, kuat, dan personal. Saya akan kembali pada puisi-puisi Michael Martin karena puisi-puisi tersebut mengingatkan saya akan sebuah realitas yang berani dan kuat yang telah hilang di dunia yang penuh dengan gejolak dan ganjil ini.
Volume kedua sajak dari Angelico Press adalah "Untimely Lightenings" oleh penyair Inggris Anna Rist. Beraroma tempat, orang, dan adat istiadat Inggris, saya teringat akan feminitas yang lemah dan keyakinan Elizabeth Jennings yang dipadukan dengan permainan kata yang indah dan kerumitan yang cemerlang dari Hopkins. Rist menulis tentang pernikahan dan keluarga serta kenangan indah, tentang Italia, Inggris, kalender Katolik, dan peringatan orang-orang suci. Sekaligus ada kerapuhan dan kekokohan dalam puisi-puisi ini. Saya merasakan salah satu wanita Inggris yang solid, masuk akal, namun sensitif yang menangkap yang terbaik dari huruf dan bahasa Inggris dengan kecerdasan, pembelajaran, dan kebijaksanaan usia.
Baik Anne Rist dan Michael Martin mengungkapkan dalam sajak mereka yang sangat pribadi bahwa puisi adalah sebagian doa dan doa adalah sebagian puisi. Mereka juga mengungkapkan, pada zaman yang serba plastik dan impersonal ini, puisi dan doa memberikan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dihasilkan oleh kecerdasan buatan, yaitu hubungan vital antara realitas dunia fisik dan realitas yang lebih agung, yaitu dunia yang tak terlihat. Sebuah puisi, seperti halnya doa, adalah jiwa manusia yang menjangkau dengan kata-kata kepada yang tak terucapkan. Dengan caranya masing-masing, puisi-puisi ini adalah ekspresi hati manusia, menyentuh yang tak tersentuh dan melihat sekilas hamparan keabadian.
(t/Jing-jing)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | The Imaginative Conservative Logo |
Alamat artikel | : | https://theimaginativeconservative.org/2024/06/ai-poetry-prayer-dwight-longenecker.html |
Judul asli artikel | : | AI, Poetry, and Prayer |
Penulis artikel | : | Dwight Longenecker |
Copyright © 2023 - Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). All Rights Reserved