
Kita Adalah AI: Lensa Teknologi Baru untuk Kekristenan
2025-01-30 16:17:00
AI Generate Summary
-
Dalam beberapa waktu terakhir, saya terlibat dalam diskusi global tentang masa depan kekristenan dan futurisme teknologi, berinteraksi dengan banyak orang Kristen yang melek teknologi. Diskusi ini menunjukkan bahwa kekristenan memerlukan hermeneutika teknologi yang diperbarui, terutama mengingat ketakutan sebagian orang terhadap teknologi yang dianggap dapat mengakhiri kekristenan. Justru, saya percaya revolusi teknologi bisa menghidupkan pemahaman baru tentang kemanusiaan. Untuk itu, umat Kristen perlu belajar dari tradisi teologis untuk menafsirkan perubahan dunia teknologi. Misalnya, istilah "kecerdasan buatan" perlu ditinjau ulang menjadi "kecerdasan alternatif" agar lebih sesuai dengan pemahaman teologis. Selain itu, istilah "realitas virtual" juga perlu dipertimbangkan dari sudut pandang teologis, mengusulkan bahwa semua yang kita sebut "alamiah" sebenarnya memiliki elemen teknologi. Dengan pendekatan hermeneutika baru ini, kita dapat menumbuhkan diskusi etis dan memperluas perspektif tentang keberadaan manusia di dunia teknologi. Poin pentingnya adalah bahwa perspektif hermeneutis ini tidak hanya penting bagi orang Kristen, tetapi juga bagi seluruh umat manusia, karena istilah dan konsep dalam teologi dapat memperluas kemungkinan dalam memahami diri kita dan peran kita ke depan.
- Kesempatan untuk membantu membentuk diskusi global mengenai masa depan kekristenan dan futurisme teknologi.
- Orang Kristen yang melek teknologi percaya masa depan teknologi memiliki implikasi radikal bagi iman mereka.
- Kekristenan membutuhkan hermeneutika teknologi yang diperbarui.
- Banyak orang anti-teknologi berpendapat bahwa teknologi akan mengakhiri kekristenan.
- Revolusi teknologi dapat menyegarkan pemahaman teologis tentang kemanusiaan.
- Kristen perlu belajar dari tradisi teologis untuk memahami dunia teknologi yang cepat berubah.
- Perubahan istilah dari "kecerdasan buatan" menjadi "kecerdasan alternatif" dapat memperluas diskusi tentang etika kecerdasan.
- Istilah "realitas virtual" tidak mencakup kemungkinan teologis dan filosofis yang ada.
- Pengertian bahwa semua yang "alamiah" sebenarnya bersifat teknologis menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk teknologi.
- Pentingnya perspektif hermeneutis bagi orang Kristen dan seluruh umat manusia.
- Kata-kata dalam teologi membantu menumbuhkan unsur utama dari teknologi yang berkembang: kemungkinan.
- Memperluas persepsi tentang identitas manusia dan masa depan kita.
- Masa depan kekristenan
- Futurisme teknologi
- Impak teknologi
- Hermeneutika teknologi
- Kecerdasan buatan
- Kecerdasan alternatif
- Realitas virtual
- Perlakuan etis
- Umat manusia
- Teknologi yang berkembang
- Pemahaman teologis
- Kemungkinan
Selama beberapa waktu belakangan ini, saya mendapat kesempatan istimewa untuk membantu membentuk diskusi global mengenai masa depan kekristenan yang berkaitan dengan futurisme teknologi. Saya telah bertemu dan berbicara dengan banyak orang Kristen yang melek teknologi dari berbagai belahan dunia, yang semuanya menyatakan bahwa mereka percaya bahwa masa depan teknologi yang muncul dengan cepat memiliki implikasi yang radikal bagi iman mereka. Di tengah-tengah diskusi tersebut, saya telah mendengar banyak perspektif dan melalui diskusi-diskusi tersebut saya memahami satu fakta yang sangat berharga: Kekristenan sangat membutuhkan hermeneutika teknologi yang diperbarui.
Bukti dari pernyataan ini muncul dari fakta bahwa banyak orang yang anti terhadap teknologi percaya bahwa teknologi yang sedang berkembang akan menjadi akhir dari kekristenan. Saya justru meyakini hal yang sebaliknya. Saya berpikir bahwa revolusi teknologi yang dengan cepat mulai terbentuk akan menghembuskan kehidupan baru ke dalam air teologis yang stagnan - membantu memunculkan pemahaman yang lebih kudus tentang kemanusiaan kita.
Namun, agar hal ini dapat terjadi, orang Kristen perlu mulai mengambil tanggung jawab yang serius untuk belajar dari tradisi teologis kita yang kaya, sehingga kita dapat mencoba menggunakan hikmat tersebut untuk membantu satu sama lain dalam menafsirkan dunia teknologi yang berubah dengan cepat di sekeliling kita. Sederhananya, umat manusia membutuhkan cara-cara yang lebih baik untuk memahami apa yang sedang terjadi pada kita saat ini (yaitu bagaimana teknologi memengaruhi kita), dan bagaimana kita berpartisipasi dalam proses transformatif tersebut. Dan untuk menumbuhkan pemahaman tersebut, kita membutuhkan cara yang lebih baik untuk membicarakan ide-ide yang sudah ada di atas meja.
Dua contoh utama dari perubahan yang diperlukan dalam kata-kata yang digunakan adalah cara-cara dunia berbicara tentang kecerdasan dan realitas. Berkenaan dengan kecerdasan, kita lebih sering mendengar istilah "kecerdasan buatan" yang digunakan di kalangan sekuler. Saya sendiri telah menggunakan terminologi ini dalam tulisan-tulisan saya dalam upaya untuk menanamkan konsep-konsep dan diskusi-diskusi teologis ke dalam masyarakat. Tetapi setiap orang Kristen yang berpikir tentang AI, bahkan untuk sesaat, akan segera memahami bahwa terminologi tersebut tidak memadai.
Izinkan saya untuk mengilustrasikan maksud saya. Orang Kristen dengan tepat memahami bahwa kita bukanlah Allah. Allah adalah Pencipta kita. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan Allah, kita adalah "kecerdasan buatan". Dan di sinilah kita memiliki masalah. Jika ketika menggunakan istilah "buatan" kita mengartikannya sebagai sesuatu yang diciptakan selain dari apa yang "alamiah", kita akan menemukan diri kita berada dalam sebuah teka-teki intelektual. Bukankah manusia itu "alamiah?" Tentu saja iya, tetapi kita juga adalah sesuatu yang lain dari Allah.
Penyelidikan teologis dasar seperti ini dengan cepat membawa kita pada pemahaman yang lebih tepat tentang musim baru kemunculan teknologi yang saat ini sedang dialami oleh umat manusia. Alih-alih menyebut jenis-jenis kecerdasan baru sebagai "buatan", kita mungkin harus menyebut AI sebagai "kecerdasan alternatif." Dan dengan perubahan istilah ini, akan muncul diskusi global yang lebih terinformasi dan sangat dibutuhkan tentang bagaimana seharusnya perlakuan etis terhadap kecerdasan alternatif, baik yang sudah ada maupun yang sedang berkembang.
Contoh kedua dari kebutuhan akan kata-kata baru yang muncul dari hermeneutika teknologi yang diperbarui adalah istilah "realitas virtual". Meskipun kata-kata ini tidak seakurat bahasa AI saat ini, namun kata ini tidak benar-benar membuka kemungkinan teologis dan filosofis yang berpotensi dihadapi umat manusia.
Dalam menggunakan kata "virtual", orang pada umumnya mencoba untuk mengekspresikan gagasan bahwa realitas yang dimaksud adalah realitas yang disimulasikan oleh perangkat lunak komputer. Namun saya ingin menyarankan kemungkinan teologis bahwa segala sesuatu yang kita alami dan nyatakan sebagai "alamiah" sebenarnya bersifat teknologis. Singkatnya - saya pikir sebuah hermeneutika teknologi baru dapat menunjukkan bahwa kita adalah makhluk teknologi yang maju dan berkembang - yang diciptakan oleh Allah yang berteknologi - yang hidup di dunia yang sepenuhnya berteknologi. Namun, memahami kemungkinan ini, dan peran luar biasa yang dimainkan oleh manusia dalam keberadaan alam semesta yang diciptakan, hanya dapat dicapai melalui pemahaman teologis tentang manusia. Dan dengan demikian, apa yang dengan cepat kita beri label sebagai realitas "virtual" mungkin sekali lagi hanyalah sebuah realitas "alternatif".
Tentu saja saya pikir masih banyak lagi yang dapat dikatakan tentang isu-isu ini, tetapi poin utamanya adalah bahwa perspektif hermeneutis seperti itu tidak hanya penting bagi orang Kristen tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Dan alasannya adalah karena kata-kata dalam teologi menumbuhkan unsur utama dari teknologi yang sedang berkembang: kemungkinan. Dan kemungkinan tersebut memperluas persepsi kita tentang siapa kita dan menjadi apa kita nantinya. (t/Yosefin).
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Christopherbenek |
Alamat artikel | : | https://www.christopherbenek.com/2016/06/developing-a-new-hermeneutic-of-intelligence-and-reality/ |
Judul asli artikel | : | We Are AI: A New Technological Lens for Christianity |
Penulis artikel | : | Christopher Benek |
Copyright © 2023 - Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). All Rights Reserved